Translate

Kamis, 03 Desember 2015

GEOLOGI TATA LINGKUNGAN ( ABRASI DAN SEDIMENTASI )

PENGERTIAN ABRASI DAN SEDIMENTASI

a.    Abrasi
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak (Setiyono, 1996). Kekuatan abrasi ditentukan oleh besar-kecilnya gelombang yang menghempas ke pantai. Sebagaimana juga halnya erosi sungai, kekuatan daya kikis oleh gelombang dipertajam pula oleh butiran-butiran material batuan yang terkandung bersama gelombang yang terhempas membentur-bentur batuan. Pada pantai yang berlereng terjal dan berbatuan cadas, gelombang mengawali kikisannya dengan membentuk notch, lereng vertikal yang cekung (concave) ke arah daratan (lereng menggantung, overhanging). Bentukan lereng yang cekung ini memberi peluang kerja bagi gaya berat dari batuan di atas (overhanging), dan menjatuhkannya ke bawah. (hallaf, 2006).
Adapun bentuk lahan yang terbentuk karena peristiwa abrasi antara lain Notch, Cliff , Wave-cut Platform, Sea Cave, Blow Hole, Inlet, Arch dan Stack.
1)        Notch, Cliff dan Wave-cut Platform
Cliff adalah bentuk lereng terjal yang menyerupai dinding; yaitu bagian yang ditinggalkan setelah suatu massa batuan longsor (landslides) oleh gaya beratnya sendiri. Sering, suatu cliff mirip dengan bentuk escarp, tetapi escarp dibentuk sebagai dinding patahan akibat depressi tektonik, sedangkan cliff dibentuk oleh denudasi tektonik.
Sebelum cliff terbentuk, dimulai dengan pembentukan notch yang merupakan hasil pekerjaan gelombang (abrasi). Notch yaitu bentuk cekungan kaki lereng (profil) yang menghadap ke arah laut, pada zona pasang-surut dan garis tengahnya secara horizontal memanjang sejajar dan selevel dengan garis pantai/muka laut di saat pasang.
Ada dua tipe cliff. Tipe yang pertama bentuknya tegak atau miring ke belakang. Cliff tipe ini biasanya karena terdiri dari batuan yang relatif lembut, atau struktur geologisnya yang miring ke arah darat. Tipe yang kedua adalah overhanging cliff, suatu bentuk clif yang dinding lerengnya sangat miring atau menonjol ke arah laut. Clif tipe overhanging terbentuk pada formasi batuan yang keras (cadas) dengan struktur (deep) yang miring ke arah laut.
Wave-cut platform, adalah bagian dari pesisir (laut) yang rata pada permukaan batuan dasar (beds rock) yang dibentuk oleh pekerjaan gelombang (Hallaf, 2006).
2)        Sea Cave, Blow Hole dan Inlet
Perbedaan kekerasan batuan; ada batuan yang lembut dan yang lainnya keras, memberi perbedaan dalam kecepatan pengikisan. Bagian-bagian batuan cadas di mana terdapat celah dan rekahan-rekahan seperti jointed, akan lebih cepat terkikis daripada bagian yang tanpa celah atau rekahan.
Sekali gelombang sempat membuat suatu lubang, maka kekuatan atau daya tekanan dari benturan gelombang akan semakin intensif dan efisien terhadap lobang tersebut. Suatu lobang yang berbentuk corong yang mengarah ke arah datangnya gelombang, akan memberi peluang terfokusnya tekanan gelombang untuk memperhebat daya benturannya. Kondisi yang demikian akan lebih dipertajam daya kikisnya bila di dalam gelombang itu termuat butiran-butiran material keras. Makin luas mulut suatu gua di dinding pantai, makin banyak pula massa air gelombang yang membentur ke dalamnya. Tekanan benturan dan pukulan gelombang semacam ini di saat badai mampu menggetarkan (microseismic) dan meremukkan kompleks batuan cadas di sekitarnya. Lambat laun muncratan air menembus hingga ke permukaan tanah di atasnya (headland) dan membentuk blow hole.
Dua macam lubang besar ini (cave dan blow hole) diberi nama sesuai dengan posisinya. Cave atau gua laut karena posisinya yang horizontal mengarah ke laut; sedangkan blow hole adalah lubang yang tegak lurus, seperti dolina di daerah karst. Bentukan blow hole dipercepat oleh, selain benturan langsung gelombang, juga oleh semprotan (muncratan), getaran, pelapukan dari atas dan gravitasi yang menjatuhkan batuan di atasnya. Demikian seterusnya hingga kedua lubang tersebut bukan saja bersambungan dalam bentuk terowongan, tetapi atapnya pun runtuh seluruhnya, disebut inlet atau terusan (Hallaf, 2006).

3)        Sea Cave, Arch dan Stack
Demikianlah proses suatu gua laut terbentuk hingga menembus ke dinding pantai sebelahnya pada suatu tanjung. Terowongan gua dengan sambungan semacam jembatan alam di atasnya pada ujung tanjung disebut arch.
Bila kelak jembatan alam (arch) ini runtuh atau putus, maka bagian ujung tanjung yang ditinggalkan, dengan bentuk pilar raksasa (tugu) disebut stack (Hallaf, 2006).
b.   Sedimentasi
Progradasi (sedimentasi) adalah proses perkembangan gisik, gosong atau bura ke arah laut melalui pengendapan sedimen yang dibawa oleh hanyutan litoral (Setiyono, 1996). Bentuk-bentuk endapan yang utama dari gelombang dan arus sepanjang pantai adalah: beach, bars, spits, tombolo, tidal delta, dan beach ridges.
Ketika gelombang menghempas (swash) merupakan kekuatan pukulan untuk memecahkan batuan yang ada di pantai. Butiran-butiran halus dari pecahan batuan (material klastis), seperti kerikil atau pasir, kemudian diangkut sepanjang pesisir (shore, zona pasang-surut), yaitu bagian yang terkadang kering dan terkadang berair oleh gerak pasang-surut atau oleh arus terbimbing sepanjang pesisir (long shore currents). Proses erosi dan pemindahan bahan-bahan penyusun pantai (beach) yang terangkut disebut beachdrift, yaitu penggeseran-penggeseran pasir atau kerikil oleh gelombang (swash dan backwash) sampai diendapkan dan membentuk daratan baru, misalnya, endapan punggungan pasir memanjang yang disebut off shore bars atau spit.
Adanya endapan seperti misalnya spit yang berbentuk memanjang di depan teluk ataupun tombolo yang menghubungkan pulau dengan daratan utama, menunjukkan adanya bagian laut yang tenang. Tenangnya gelombang karena perlindungan tanjung dan merupakan medan pertemuan dua arah massa arus laut yang saling melemahkan; yaitu arus dari kawasan laut luar yang memutar di dalam teluk. Di bagian air yang tenang di situlah terjadi pengendapan (Hallaf, 2006).
Adapun bentuklahan yang terbentuk karena peristiwa sedimentasi antara lain:
1)      Beach
Banyak bahan-bahan yang dikikis dari tanjung-tanjung tidak terbawa keluar dan masuk ke dalam air yag lebih dalam, tetapi dihanyutkan oleh arus pasang yang datang ke bagian head (tanjung) dan sides (sisi) teluk sehingga terbentuk “Bay Head Beach” dan “Bay Side Beach”. The long shore current mengalir, terutama menghindari ketidakberaturan pantai, sehingga mengalir memotong di mulut teluk. Head Land Beach; terbentuk kalau materi-materi itu diendapkan di muka tanjung-tanjung (Hallaf, 2006).
 2)      Bars
Bar adalah gosong-gosong pasir penghalang gelombang yang terbentuk oleh endapan dari gelombang dan arus. Bar merupakan bagian dari beach, yang tampak pada saat air surut. Di Tomia disebut “kénté”, orang Maluku menyebutnya “méti”. Bar diberi nama sesuai dengan tempat terjadinya. Bay Mouth Bar ialah bar yang terbentuk dan berpangkal dari tanjung yang satu ke tanjung yang lain di mulut teluk. Arus yang berhasil masuk ke dalam teluk membentuk Bay Head Bar dan Mid Bay Bar.
Cuspate Bar dan Looped Bar; adalah bar yang berbukit yang juga dibangun oleh arus. Sebuah Cuspate Foreland menyerupai Cuspate Bar, hanya di situ tidak mempunyai lagoon, karena semua materi-materi mengendap membentuk beach.
Off Shore Bars yang berbeda-beda di dalam jumlahnya, biasanya hanya merupakan suatu lajur (gosong) pasir yang muncul di atas permukaan laut pada saat laut surut. Di suatu daerah yang luas off shore bars terdiri dari dua atau tiga mil, dipisahkan oleh bukit-bukit pantai (beach ridges) dan bukit-bukit pasir (sand dunes).
A.K.Lobeck berpendapat bahwa material pembentuk spit atau bar berasal dari hasil kerukan gelombang di dasar laut di depan bar itu, dan ditambahkan juga dengan material yang terbawa dari tempat lain oleh arus laut sepanjang pantai di mana erosi cliff aktif bekerja; dan gelombang belum berhasil mencapai daratan di tempat di mana bar itu terbentuk.
G.K.Gilbert telah memikirkan kejadian tersebut. Ia adalah pendukung “Shore-drift Theory”. Tetapi de Beaumont, Davis dan Shaler percaya bahwa material pembentuk bar diangkut dari dasar laut di depan pantai. Johnson berkesimpulan bahwa teori Beaumont dkk dapat diikuti karena memang ternyata bahwa permukaan bar yang mengarah ke laut lebih diperdalam.
Adalah lumrah bila diketemukan dua atau lebih dari dua bars berkembang sejajar dengan pantai. Bars yang lebih dalam terbentuk pertama kali oleh gelombang yang lemah yang dapat maju lebih jauh ke arah (bagian) laut yang lebih dangkal (Hallaf, 2006).
3)      Spit
Biasanya arus yang masuk ke dalam sebuah teluk lebih kuat daripada arus yang keluar menuju ke laut. Akibatnya ujung spit yang pada laut terbuka (pada mulut teluk) menjadi melengkung masuk arah ke teluk. Spit yang demikian disebut “Recurved Spit”. Spit yang melengkung, yang terbentuk pertama, biasanya mempunyai lengkungan yang lebih hebat daripada spit melengkung yang terbentuk berikutnya.
Complex Spit dihasilkan dari perkembangan spit kecil atau spit sekunder yang menumpang pada ujung dari spit yang utama. Cape Cod dan Sandy Hook, kedua-duanya adalah Complex Spit yang sebaik dengan Compound-spit (Hallaf, 2006).
4)      Tombolo
Tombolo ialah bar yang menghubungkan sebuah pulau dengan daratan utama. Tombolo itu ada yang single, double, triple; dan ada pula yang berbentuk huruf “V”, yaitu apabila pulau dihubungkan dengan daratan oleh dua bar. Kompleks tombolo terbentuk bila beberapa pulau dipersatukan dengan yang lain dan dengan daratan oleh sederetan bars (Hallaf, 2006).
5)      Tidal Inlet dan Tidal Delta
Tidal Inlets. Kebanyakan off shore bars (spit) tidak mempunyai sifat yang bersambungan, tetapi diantarai atau diselingi oleh terusan-terusan yang dikenal sebagai “tidal inlets”. Tidal inlets ini merupakan pintu-pintu tempat keluar dan masuknya air laut antara laut bebas dengan lagoon sesuai dengan gerak pasang-surut. Jumlah dan tempat inlets atau teluk-teluk dapat memberi hubungan langsung dengan long shore currents karena arus ini adalah tetap membawa muatan material untuk membangun bars.
Dalam perkembangan lanjut (mature stage), jumlah dari inlets atau teluk-teluk lambat laun bertambah jauh dari lokasi sumber di mana arus memperoleh muatan material. Tidak hanya gelombang-gelombang yang kurang keras untuk memberi arus itu dengan muatan material yang berasal dari runtuhan, tetapi bar itu sendiri yang lebih kecil dan lebih mudah dilalui oleh gelombang dan air pasang.
Pada kebanyakan teluk, lagoon lebih mudah ditumbuhi rumput-rumput rawa. Kondisi ini terjadi karena keadaan yang sesuai dengan kadar garam yang tetap dipertahankan oleh adanya hubungan langsung dengan lautan. Lagoon-lagoon yang besar dan terpisah dari lautan (tanpa inlets), airnya tidak dapat ditumbuhi oleh tumbuhan marine.
Tidal Deltas. Arus pasang-surut yang keluar-masuk pada tidal inlets membawa pasir masuk ke dalam lagoon dan juga pasir ke luar laut. Arus yang masuk itu kemudian mengendapkan material muatannya ke dalam lagoon di mulut inlets dan membentuk delta; dan disebut “Tidal Delta”. Hampir semua bars menahan sebuah deretan delta yang terbentuk pada sisi dari lagoon.
Bahan-bahan yang tererosi oleh gelombang laut akan diangkut dan diendapkan pada dua bagian kawasan. Sebagian diendapkan ke arah darat (coastal) ketika terjadi swash; dan sebagian lainnya lagi diangkut oleh arus balikan yaitu backwash untuk selanjutnya diteruskan oleh arus kompensasi untuk diendapkan ke bagian dasar yang lebih dalam (Hallaf, 2006).
6)      Beach Ridges
Beach ridge (punggung / bukit-bukit tepi pantai) menggambarkan kedudukan yang dicapai dari majunya garis pantai. Tekanan-tekanan atau depression yang terjadi antara bukit-bukit atau ridges dikenal sebagai Swales, Slashes or furrows. Ridges dan swales dapat terjadi pada sembarang pantai.
Ada tiga cara terbentuknya Beach Ridges ini, yaitu:
a)      Menurut Gilbert, bahan-bahan dari pasir yang dihanyutkan oleh arus dilemparkan oleh gelombang dari arah laut pada sisi-sisi dari beach. Adanya bukit-bukit itu menunjukkan adanya angin ribut yang luar biasa.
b)      Menurut Beaumont  dan Davis; materi-materi itu dihanyutkan dari dasar laut, di mana dasar laut telah diperdalam; kemudian ridges itu lebih banyak tergantung pada kekuatan dan keaktifan gelombang.
c)      Sederetan bukit-bukit dapat terbentuk pada ujung dari sebuah Compound recurved spit oleh tambahan dari spit yang berhasil berkembang ke samping – arah ke laut.
Tetapi Johnson mempertahankan bahwa Beach Ridge tidaklah selalu dapat dikorelasikan dengan individu angin badai. Beach Ridge lebih banyak berfluktuasi dalam jumlah pasir yang dibawa oleh long shore current; yang harus diperiksa adalah ada tidaknya erosi gelombang pada tempat-tempat yang lain. Di mana terdapat persediaan materi yang berlimpah, beach ridge dapat bertambah dengan cepat, terutama pada ujung Recurved spit. Dalam 23 tahun, ada 5 (lima) ridges terbentuk pada ujung dari Rockway Beach, dekat New York City. Ujung spit bertambah kurang lebih 200 kaki dalam setahun (Hallaf, 2006).
Hasil proses sedimentasi di suatu tempat dengan tempat lain akan berbeda. Berikut adalah ciri bentang lahan akibat proses pengendapan berdasarkan tenaga pengangkutnya.
a) Pengendapan oleh air sungai
Batuan hasil pengendapan oleh air disebut sedimen akuatis. Bentang alam hasil pengendapan oleh air, antara lain meander, oxbow lake, tanggul alam, dan delta.
(1) Meander
Meander, merupakan sungai yang berkelok-kelok yang terbentuk karena adanya pengendapan. Proses berkelok-keloknya sungai dimulai dari sungai bagian hulu. Pada bagian hulu, volume airnya kecil dan tenaga yang terbentuk juga kecil. Akibatnya sungai mulai menghindari penghalang dan mencari jalan yang paling mudah dilewati. Sementara, pada bagian hulu belum terjadi pengendapan.

Pada bagian tengah, yang wilayahnya datar maka aliran airnya lambat, sehingga membentuk meander. Proses meander terjadi pada tepi sungai, baik bagian dalam maupun tepi luar. Di bagian sungai yang aliranya cepat, akan terjadi pengikisan, sedangkan bagian tepi sungai yang lamban alirannya, akan terjadi pengendapan. Apabila hal itu berlangsung secara terus-menerus akan membentuk meander.


(2) Oxbow lake

Meander biasanya terbentuk pada sungai bagian hilir, sebab pengikisan dan pengendapan terjadi secara terus-menerus. Proses pengendapan yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan kelokan sungai terpotong dan terpisah dari aliran sungai, sehingga terbentuk oxbow lake, atau disebut juga sungai mati.


(3) Delta

Pada saat aliran air mendekati muara, seperti danau atau laut, kecepatan alirannya menjadi lambat. Akibatnya, terjadi pengendapan sedimen oleh air sungai. Pasir akan diendapkan, sedangkan tanah liat dan lumpur akan tetap terangkut oleh aliran air. Setelah sekian lama, akan terbentuk lapisan-lapisan sedimen. Akhirnya lapisan-lapisan sedimen membentuk dataran yang luas pada bagian sungai yang mendekati muaranya dan membentuk delta.


Pembentukan delta harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, sedimen yang dibawa oleh sungai harus banyak ketika akan masuk laut atau danau. Kedua, arus di sepanjang pantai tidak terlalu kuat. Ketiga, pantai harus dangkal. Contoh bentang alam ini adalah delta Sungai Musi, Kapuas, dan Kali Brantas.

(4) Tanggul alam

Apabila terjadi hujan lebat, volume air meningkat secara cepat. Akibatnya terjadi banjir dan air meluap hingga ke tepi sungai. Pada saat air surut, bahan-bahan yang terbawa oleh air sungai akan terendapkan di tepi sungai. Akibatnya, terbentuk suatu dataran di tepi sungai.


Timbulnya material yang tidak halus (kasar) terdapat pada tepi sungai. Akibatnya tepi sungai lebih tinggi dibandingkan dataran banjir yang terbentuk. Bentang alam itu disebut tanggul sungai. Selain itu, juga terdapat tanggul pantai sebagai hasil dari proses pengendapan oleh laut. Kedua tanggul tersebut merupakan tanggul alam, karena proses terbentuknya berlangsung alami hasil pengerjaan alam

b) Pengendapan oleh air laut

Batuan hasil pengendapan oleh air laut disebut sedimen marine. Pengendapan oleh air laut dikarenakan adanya gelombang. Bentang alam hasil pengendapan oleh air laut, antara lain pesisir, spit, tombolo, dan penghalang pantai.


Pesisir merupakan wilayah pengendapan di sepanjang pantai. Biasanya terdiri atas material pasir. Ukuran dan komposisi material di pantai sangat bervariasi tergantung pada perubahan kondisi cuaca, arah angin, dan arus laut.

Arus pantai mengangkut material yang ada di sepanjang pantai. Jika terjadi perubahan arah, maka arus pantai akan tetap mengangkut material material ke laut yang dalam. Ketika material masuk ke laut yang dalam, terjadi pengendapan material. Setelah sekian lama, terdapat akumulasi material yang ada di atas permukaan laut. Akumulasi material itu disebut spit. Jika arus pantai terus berlanjut, spit akan semakin panjang. Kadang-kadang spit terbentuk melewati teluk dan membetuk penghalang pantai (barrier beach). Apabila di sekitar split terdapat pulau maka spit tersambung dengan daratan, sehingga membentuk tombolo.

c) Pengendapan oleh angin

Sedimen hasil pengendapan oleh angin disebut sedimen aeolis. Bentang alam hasil pengendapan oleh angin dapat berupa gumuk pasir (sand dune). Gumuk pasir terjadi akibat akumulasi pasir yang cukup banyak dan tiupan angin yang kuat. Angin mengangkut dan mengendapkan pasir di suatu tempat secara bertahap, sehingga terbentuk timbunan pasir yang disebut gumuk pasir.
d) Pengendapan oleh gletser
 hasil pengendapan oleh gletser disebut sedimen glacial. Bentang alam hasil pengendapan oleh gletser adalah bentuk lembah yang semula berbentuk V menjadi U. Pada saat musim semi tiba, terjadi pengikisan oleh gletser yang meluncur menuruni  lembah. Batuan atau tanah hasil pengikisan juga menuruni lereng dan mengendap di lembah. Akibatnya, lembah yang semula berbentuk V menjadi berbentuk U.

Abrasi dan sedimentasi paling banyak terjadi di daerah pantai karna Pantai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah pesisir, Sogiarto, (1976) dalam Dahuri, (1996) menyatakan bahwa defenisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah pertemuan antara darat dan laut dalam artian ; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebaban oleh kegiatan manusia di darat seperti pembangunan, penggundulam hutan dan pencemaran lingkungan pantai.

Pantai adalah mintakat antara tepi perairan laut pada pasang rendah sampai ke batas efektif pengaruh gelombang ke arah daratan. Sedangkan pesisir adalah mintakat yang meliputi pantai dan perluasannya ke arah darat sampai batas pengaruh laut tidak ada (Setiyono, 1996).
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentang alam yang meliputi sifat dan karakteristik dari bentuk morfologi, klasifikasi dan perbedaannya serta proses yang berhubungan terhadap pembentukan morfologi tersebut. Secara garis besar bentuk morfologi permukaan bumi sekarang ini terbentuk oleh beberapa proses alamiah, antara lain :
  • Proses yang berlangsung dari dalam bumi, yang membentuk morfologi gunungapi, pegunungan lipatan, pegunungan patahan, dan undak pantai. 
  • Proses disintegrasi/degradasi yang mengubah bentuk permukaan muka bumi karena proses pelapukan dan erosi menuju proses perataan daratan. 
  • Proses agradasi yang membentuk permukaan bumi baru dengan akumulasi hasil erosi batuan pada daerah rendah, pantai dan dasar laut. 
  •  Proses biologi yang membentuk daratan biogenik seperti terumbu karang dan rawa gambut (Dahuri, 1996).
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari daratan dan lautan. Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat hingga sangat cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubahan pantai terjadi apabila proses geomorfologi yang terjadi pada suatu segmen pantai melebihi proses yang biasa terjadi. Perubahan proses geomorfologi tersebut sebagai akibat dari sejumlah faktor lingkungan seperti faktor geologi, geomorfologi, iklim, biotik, pasang surut, gelombang, arus laut dan salinitas (Sutikno, 1993 dalam Putinella, 2002). 
c. Faktor-Faktor Abrasi dan Sedimentasi
Peristiwa akresi dan abrasi dapat terjadi karena adanya variasi kondisi oseanografi. Kondisi oseanografi fisika di kawasan pesisir dan laut dapat digambarkan oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus, kondisi suhu dan salinitas serta angin. Fenomena tersebut memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan sehingga menyebabkan terjadinya kondisi fisik perairan yang berbeda-beda. Wilayah pantai memiliki dinamika perairan yang kompleks.  Proses-proses utama yang sering terjadi meliputi sirkulasi massa air, percampuran (terutama antara dua massa air yang berbeda), sedimentasi dan erosi, dan upwelling.  Proses tersebut terjadi karena adanya interaksi antara berbagai komponen seperti daratan, laut, dan atmosfir (Putinella, 2002). Adapun komponen-komponen tersebut antara lain seperti pasang surut, gelombang, arus, angin, struktur geologi pantai, kemiringan dan arah garis pantai.
1)   Pasang Surut
Pengaruh gaya tarik bulan dan matahari mengakibatkan air laut di sepanjang pantai menjadi naik (air pasang) pada saat bersamaan di sepanjang pantai bagian bumi yang lainnya mengalami penurunan muka air laut (air surut). Gaya tarik bulan terhadap timbulnya gelombang pasang besarnya 2,5 kali lebih kuat dari pada gaya tarik matahari karena posisi bulan jauh lebih dekat dibandingkan dengan matahari. Ketinggian maksimum gelombang pasang terjadi di daerah khatulistiwa beriklim tropis dan daerah sub tropis. (Mulyo, 2004).
Pasang terutama disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga yang terjadi di lautan, yang berasal dari gaya sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi pada sumbunya dan gaya gravitasi yang berasal dari bulan. Gaya sentrifugal adalah suatu gaya yang didesak ke arah luar dari pusat bumi yang besarnya lebih kurang sama dengan tenaga yang ditarik ke permukaan bumi.
Gaya gravitasi juga mempengaruhi terjadinya pasang walaupun tenaga yang ditimbulkan terhadap lautan hanya sekitar 47% dari tenaga yang dihasilkan oleh gaya gravitasi bulan. Selain itu faktor-faktor setempat seperti bentuk dasar lautan dan massa daratan di sekitarnya kemungkinan menghalangi aliran air yang dapat berakibat luas terhadap sifat-sifat pasang (Hutabarat dan Evans, 1985).
Ketika kedudukan matahari, bumi, bulan satu garis lurus (sudut 00). Gaya tarik gabungan antara matahari dan bulan menghasilkan air pasang yang lebih besar. Pasang yang terjadi pada saat itu biasa disebut pasang purnama atau pasang tinggi yang dinamakan spiring tide. Pada waktu bulan seperempat dan tiga perempat, matahari dan bulan membentuk sudut 900, sehingga gaya tarik keduanya saling melemah. Pasang yang terjadi pada saat itu adalah pasang kecil atau pasang perbani yang dinamakan neap tide. (Rosmini, 2006).
Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali pasang surut. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dibedakan dalam empat tipe:
a)         Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide), yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Malaka sampai laut Andaman.
b)        Pasang surut harian tunggal (diurnal tide), yaitu dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi diperairkan selat Karimata.
c)         Pasang surut campuran condong ke hari ganda (mixed tide prevailing semidiurnal), yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan Indonesia Timur.
d)        Pasang surut campuran condong ke hari tunggal (mixed tide prevailing diurnal), dimana pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
Pengaruh gaya pasang surut mempengaruhi peristiwa abrasi dan sedimentasi. Wilayah pantai yang mengalami peristiwa pasang surut harian ganda atau pasut surut tipe campuran condong ke ganda memiliki pengaruh yang berbeda dengan wilayah pantai yang hanya mengalami pasang surut harian tunggal, dimana wilayah yang memiliki pasang surut tipe harian ganda dan campuran condong ke ganda mengalami proses transportasi sedimen yang lebih dinamis jika dibandingkan dengan pasang surut harian tunggal.
Selain tipe pasang surut, perbedaan lama waktu antara pasang dan surut juga mempengaruhi peristiwa abrasi sedimentasi. Kawasan pantai yang mengalami proses pasang yang cenderung lebih lama dari waktu surut, akan berakibat memberikan peluang waktu yang lebih banyak bagi gelombang untuk mengabrasi wilayah daratan.
2)   Gelombang
Gelombang laut adalah gerakan melingkar molekul-molekul air yang tampak sebagai gerakan naik turun. Gelombang laut disebabkan oleh angin yang berhembus pada permukaan laut yang mendesak air laut.
Menurut Dahuri (1996), ombak merupakan salah satu penyebab yang berperan besar dalam pembentukan pantai, baik pantai abrasi maupun pantai sedimentasi. Ombak yang terjadi di laut dalam pada umumnya tidak berpengaruh terhadap dasar laut dan sedimen yang terdapat di dalamnya. Sebaliknya ombak yang terdapat di dekat pantai, terutama di daerah pecahan ombak mempunyai energi besar dan sangat berperan dalam pembentukan morfologi pantai, seperti menyeret sedimen (umumnya pasir dan kerikil) yang ada di dasar laut untuk ditumpuk dalam bentuk gosong pasir. Di samping mengangkut sedimen dasar, ombak berperan sangat dominan dalam menghancurkan daratan (abrasi laut). Daya penghancur ombak terhadap daratan/batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keterjalan garis pantai, kekerasan batuan, rekahan pada batuan, kedalaman laut di depan pantai, bentuk pantai, terdapat  atau tidaknya penghalang di muka pantai dan sebagainya.
Gelombang yang ditemukan di permukaan laut pada umumnya terbentuk karena adanya proses alih energi dari angin ke permukaan laut, atau pada saat tertentu disebabkan oleh gempa di dasar laut. Gelombang ini merambat ke segala arah membawa energi tersebut kemudian dilepaskannya ke pantai dalam bentuk hempasan ombak. Rambatan gelombang ini dapat menempuh jarak ribuan kilometer sebelum mencapai suatu pantai. Gelombang yang mendekati pantai akan mengalami pembiasan (refraction), dan akan memusat (covergence) jika mendekati semenanjung, dan akan menyebar (divergence) jika menemui cekungan. Di samping itu gelombang yang menuju perairan dangkal akan mengalami spilling, plunging atau surging. Semua fenomena yang dialami gelombang tersebut pada hakekatnya disebabkan oleh topografi dasar lautnya (sea bottom topography). (Dahuri, 1996).
Tipe gelombang spilling terjadi jika gelombang yang memiliki kemiringan kecil menuju pantai yang datar. Pada jarak yang jauh dari pantai, gelombang tersebut mulai pecah secara berangsur-angsur menghasilkan buih pada pada puncak gelombang dan meninggalkan suatu lapis tipis buih pada jarak yang cukup panjang.
Tipe gelombang plunging terjadi jika kemiringan gelombang dan dasar bertambah. Gelombang yang pecah dengan puncak gelombangnya akan terjun ke depan dan energinya dihancurkan dalam turbulensi yang mana sebagian kecil akan dipantulkan pantai ke laut dan tidak banyak gelombang baru yang terjadi pada air yang lebih dangkal.
Tipe gelombang pecah surging terjadi pada pantai yang memiliki kemiringan yang sangat besar, seperti pada pantai berkarang. Tipe ini memiliki daerah gelombang pecah yang sangat sempit dibandingkan dengan dua tipe lainnya dan sebagian besar energi yang dimiliki dipantulkan kembali ke laut dalam dan sebelum puncak gelombang terjun ke depan, dasar gelombangnya sudah pecah (Hutabarat dan Evans, 1985). 
3)   Arus
Arus adalah gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horisontal massa air. Sistem-sistem arus laut utama dihasilkan oleh beberapa daerah angin utama yang berbeda satu sama lain, mengikuti garis lintang sekeliling dunia dan di masing-masing daerah ini angin secara terus menerus bertiup dengan arah yang tidak berubah-ubah (Nybakken, 1988 dalam Putinella, 2002).
Berbeda dengan ombak yang bergerak maju ke arah pantai, arus laut, terutama yang mengalir sepanjang pantai merupakan penyebab utama yang lain dalam membentuk morfologi pantai. Arus laut terbentuk oleh angin yang bertiup dalam selang waktu yang lama, dapat pula terjadi karena ombak yang membentur pantai secara miring. Berbeda dengan peran ombak yang mengangkut sedimen tegak lurus terhadap arah ombak, arus laut mampu membawa sedimen yang mengapung maupun yang terdapat di dasar laut. Pergerakan sedimen searah dengan arah pergerakan arus, umumnya menyebar sepanjang garis pantai. Bentuk morfologi spit, tombolo, beach ridge atau akumulasi sedimen di sekitar jetty dan tanggul pantai menunjukkan hasil kerja arus laut.
Pola arus pantai ditentukan  terutama oleh besarnya sudut yang dibentuk antara gelombang yang datang dengan garis pantai. Jika sudut datang itu cukup besar, maka akan terbentuk arus menyusur pantai (longshore current) yang disebabkan oleh perbedaan tekanan hidrostatik. Jika sudut datang relatif kecil atau sama dengan nol (gelombang yang datang sejajar dengan pantai), maka akan terbentuk arus meretas pantai (rip current) dengan arah menjauhi pantai di samping terbentuknya arus menyusur pantai. Diantara kedua jenis arus pantai ini, arus menyusur pantailah yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap transportasi sedimen pantai (Dahuri, 1996).
Selain faktor angin, arus juga dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :
a)         Bentuk topografi dasar lautan dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya. Beberapa sistem lautan utama di dunia dibatasi oleh massa daratan dari tiga sisi dan pula oleh arus ekuator counter di sisi yang keempat. Batas-batas ini menghasilkan sistem aliran yaitu hampir tertutup dan cenderung membuat aliran air mengarah dalam suatu bentuk bulatan. Dari sinilah terbentuk gyre (arus berputar) (Hutabarat dan Evans, 1984).
b)        Efek Coriolis atau gaya Coriolis. Gaya Coriolis adalah gaya semu yang ditimbulkan akibat efek dua gaya gerakan. Yaitu gerakan rotasi bumi dan gerakan benda relatif terhadap permukaan bumi. Gaya ini menyebabkan terjadinya perpindahan zat cair di belahan bumi utara di belokkan ke kanan dan di belahan bumi selatan dibelokkan ke kiri (Kanginan, 1999)
c)         Spiral Ekman atau perpindahan Ekman oleh V. walfrid Ekman, seorang ahli dari Swedia, pada tahun 1982 menunjukkan secara matematis bahwa di bawah kondisi samudra yang ideal akan menghasilkan sebuah pengurangan kecepatan arus sistematis dan sebuah perubahan pada arahnya dalam meningkatkan kedalaman (Rosmini, 2006).
Selain ketiga faktor di atas, gerakan air yang luas dapat diakibatkan oleh perbedaan densitas lapisan lautan yang mempunyai kedalaman berbeda. Perbedaan itu timbul terutama disebabkan oleh salinitas dan suhu (Hutabarat dan Evans, 1984).
4)   Angin
Angin disebabkan karena adanya perbedaan tekanan udara yang merupakan hasil dari pengaruh ketidakseimbangan pemanasan sinar matahari terhadap tempat-tempat yang berbeda di permukaan bumi. Keadaan ini mengakibatkan naiknya sejumlah besar massa udara yang ditandai dengan timbulnya sifat khusus yaitu terdapatnya tekanan udara yang tinggi dan rendah. Sebagai contoh, massa udara yang bertekanan tinggi dibentuk di atas daerah-daerah kutub, sedangkan massa udara yang bertekanan rendah yang kering dan panas terkumpul di daerah subtropik. Massa udara ini tidak tetap tinggal pada tempat di mana mereka ini dibentuk, tetapi begitu mereka melewati daerah daratan mereka akan tersesat oleh aliran angin yang ditimbulkan dengan adanya perubahan dan variasi iklim setempat. Massa udara yang bertekanan tinggi ini dikenal sebagai anti-cyclones ; udara yang beredar di dalamnya berputar ke arah lawan jarum jam (anti-clockwise) pada bagian belahan bumi sebelah Selatan, sedangkan di belahan bumi sebelah Utara mereka berputar ke arah jarum jam (clockwise). Massa udara yang bertekanan rendah dinamakan cyclones. Gerakan massa udara di dalamnya bergerak ke arah jarum jam di belahan bumi Selatan dan ke arah lawan jarum jam di belahan bumi Utara.
Gelombang yang terjadi di laut disebabkan oleh hembusan angin (Nontji, 1999). Faktor yang mempengaruhi bentuk/besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin adalah: kecepatan angin, lamanya angin bertiup, kedalaman laut, dan luasnya perairan, serta fetch (F) yaitu jarak antara terjadinya angin sampai lokasi gelombang tersebut.
5)   Sedimen Pantai
Sedimen pantai adalah partikel-partikel yang berasal dari hasil pembongkaran batuan-batuan dari daratan dan potongan-potongan kulit (shell) serta sisa-sisa rangka-rangka organisme laut. Tidaklah mengherankan jikalau ukuran partikel-partikel ini sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisik mereka dan akibatnya sedimen yang terdapat pada berbagai tempat di dunia mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda satu sama lain. Misalnya sebagian besar dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis partikel yang berukuran kecil yang terdiri dari sedimen halus. Sedangkan hampir semua pantai ditutupi oleh partikel berukuran besar yang terdiri dari sedimen kasar.
Keseimbangan antara sedimen yang dibawa sungai dengan kecepatan pengangkutan sedimen di muara sungai akan menentukan berkembangnya dataran pantai. Apabila jumlah sedimen yang dibawa ke laut dapat segera diangkut oleh ombak dan arus laut, maka pantai akan dalam keadaan stabil. Sebaliknya apabila jumlah sedimen melebihi kemampuan ombak dan arus laut dalam pengangkutannya, maka dataran pantai akan bertambah (Putinella, 2002).
Ada beberapa klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran butirnya, yaitu:
Keterangan
Ukuran (mm)
Boulders (batu kasar)
Gravel (kerikil)
Very course sand (pasir sangat kasar)
Course sand (pasir kasar)
Medium sand (pasir setengah kasar)
Fine sand (pasir halus)
Very fine sand (pasir sangat halus)
Silt (lanau, lumpur)
Clay (lempung)
> 265
2 – 265
1 – 2
0,5 – 1
0,25 – 0,5
0,125 – 0,25
0,0625 – 0,125
0,0039 – 0,0625
< 0,0039

Berdasarkan asalnya sedimen dapat dibagi menjadi tiga
bagian:
a)    Sedimen lithogeneus, jenis sedimen ini berasal dari sisa pengikisan batu-batuan di daratan, yang diangkut ke laut oleh sungai-sungai.
b)   Sedimen biogenus, jenis sedimen ini berasal dari sisa-sisa rangka dari organisme hidup yang membentuk endapan partikel-partikel halus yang dinamakan ooze yang biasanya diendapkan pada daerah yang jauh dari pantai. Sedimen ini digolongkan ke dalam dua tipe yaitu calcareous dan siliceous.
c) Sedimen hidrogeneus. Jenis partikel dari sedimen golongan ini dibentuk sebagai hasil reaksi kimia dalam air laut. (Hutabarat dan Evans, 1984).
6)   Kemiringan dan Arah Garis Pantai
Pantai bisa terbentuk dari material dasar yang berupa lumpur, pasir atau kerikil (gravel). Kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk dan ukuran material dasar. Pantai lumpur mempunyai kemiringan sangat kecil sampai mencapai 1:5000. Kemiringan pantai pasir lebih besar yang berkisar antara 1:20 dan 1:50. Kemiringan pantai berkerikil bisa mencapai 1:4. Pantai berlumpur banyak dijumpai di daerah pantai di mana banyak sungai yang mengangkut sedimen suspensi bermuara di daerah tersebut dan gelombang relatif kecil (Triatmodjo, 1999).
Arah garis pantai dapat mempengaruhi energi gelombang dan kecepatan arus susur pantai. Ketika arah datang gelombang tegak lurus dengan arah garis pantai, maka energi gelombang yang bekerja dapat lebih maksimal dalam melakukan proses abrasi. Sedangkan untuk arus susur pantai, kecepatannya akan melemah ketika arah datangnya hampir tegak lurus dengan arah garis pantai.
Abrasi pantai yang bersifat alamiah adalah proses penggerusan pantai akibat dari hempasan gelombang dan badai dalam jangka waktu lama sehingga menyebabkan perubahan garis pantai menuju ke arah daratan. Selain itu, abrasi pantai dapat pula disebabkan oleh aktifitas manusia yaitu penggalian bahan tambang terutama pasir pantai. Aktifitas ini dapat menyebabkan perubahan garis pantai ke arah daratan secara cepat. Dampak yang ditimbulkan dari abrasi tersebut dari aspek strategis adalah perubahan luas wilayah di suatu kawasan, sedangkan jika dilihat dari aspek lingkungan akan menyebabkan hilangnya habitat dari suatu ekosistem.
Teknologi pemodelan dapat memprediksi pola perubahan garis pantai yang disebabkan oelh proses-proses abrasi pantai secara alamiah yang disebabkan oleh pengaruh gelombang dan badai. Model tersebut dapat mensimulasikan proses abrasi pantai dalam jangka waktu yang panjang (tahunan). Energi dari hempasan gelombang atau badai lambat laun akan mengakibatkan penggerusan pasir dan sedimentasi. Proses penggerusan pantai akan membutuhkan kesetimbangan sehingga disuatu tempat akan menerima sedimen dari tempat yang tergerus.
Pemodelan yang digunakan adalah modul hidrodinamika untuk mengkaji kondisi sirkulasi arus dan beberapa alternatif modul gelombang seperti Gelombang Spektral, Gelombang Spektral di Perairan Dangkal, Parabolic Mild Slope, Elliptic Mild Slope, Refraksi-difraksi Gelombang dan Gelombang Boussinesq digunakan untuk mensimulasikan parameter gelombang yang berkaitan dengan energi gelombang. Modul sedimen seperti modul Pergerakan Sedimen Dasar, Sedimen Kolom Air dan Pergerakan Partikel digunakan untuk mengetahui pola penyebaran sedimen dari penggerusan sedimen (pasir) hasil abrasi. Perubahan jangka panjang dari garis pantai disimulasikan dengan menggunakan modul Morphologi Pantai dan Proses Litoral dan Dinamika Garis Pantai. Data-data hasil simulasi yang menggambarkan proses abrasi tersebut diintegrasikan dengan data spatial pendukung lainnya dengan menggukan modul GIS Kelautan untuk menghasilkan peta-peta hasil simulasi.












Mangrove Penyelamat Kawasan Pesisir

Pernahkah anda suatu ketika berkunjung ke daerah pesisir dan melihat fenomena abrasi ataupun erosi pantai di daerah tersebut? Atau anda yang tinggal di daerah pesisir seperti kota Semarang yang mengalami banjir rob secara periodik ? Abrasi, erosi pantai, banir rob , pendangkalan muara sungai merupakan beberapa akibat yang timbul karena rusaknya daerah pendukung daya tahan tanah pesisir seperti ekosistem mangrove.  Rusaknya hutan mangrove secara langsung akan melemahkan daya dukung tanah dan lemahnya perlindungan pada pantai dan daerah pesisir.
a. abrasi pantai
b. erosi pantai

Ekosistem mangrove atau hutan bakau merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang secara teratur digenangi oleh air laut yang dipengaruhi pasang surut. Mangrove tidak dapat tumbuh di pantai yang terjal, berombak besar atau yang mempunyai pasang surut tinggi dan berarus deras.  Hutan mangrove merupakan  habitat alami sebagai tampat asuhan, mencari makan, memijah dan berlindung para biota perairan.
c. hutan mangrove
d. biota perairan mangrove
Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai. Pohon yang kuat sebagai peredam ombak dan mempercepat pengendapan lumpur sehingga dapat menahan abrasi, pelundung pemukiman dan mengendalikan banjir.  Hal ini terbukti saat tsunami yang menghantam Aceh  dan pantai Pangandaran lalu. Daerah yang ditanami mangrove kerusakan nya relatif kecil dibandingkan dengan yang tidak ditanami mangrove. Mangrove juga menyerap bahan pencemar gas kendaraan dan industri perkotaan. Untuk fungsi secara ekonomis, hutan mangrove sekaligus merupakan kawasan wisata yang menarik di daerah pesisir. Selain itu sumber produksi kayu mangrove dapat digunakan sebagai bahan penyamak, bahan baku pulp dan bahan bangunan. Bahkan inovasi terbaru yang sudah dikembangkan oleh teman teman mahasiswa beserta petani mangrove yaitu sirup mangrove yang berkhasiat bagi kesehatan dan juga batik yang bahan nya berasal dari mangrove.
Indonesia yang merupakan Negara kepulauan memiliki lebih dari 3700 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 80.000 km seharusnya mempunyai kawasan hutan mangrove yang memadai untuk melindungi kawasan pantai sepanjang itu. Tetapi dari sumber data yang diperoleh, hutan mangrove di daerah Jawa Timur seluas 85.000 Ha saja sudah mengalami kerusakan sebanyak 13.000 Ha akibat tekanan karena fungsi kepentingan di wilayah pesisir. Belum lagi kerusakan hutan mangrove yang berada di daerah lain. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan mengingat fungsi penting  hutan mangrove bagi kawasan pesisir . Untuk itu diperlukan usaha bersama untuk konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove.
e. peta persebaran mangrove indonesia

f. efek mangrove pada tsunami di pantai Pangandaran
Pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi mangrove di lapangan mulai dari penanaman, pemeliharaan dan pengawasan harus melibatkan kelompok kelompok masyarakat pengelola dan pelestari mangrove di wilayah setempat. Hal ini sekaligus sebagai sosialisasi dan penyuluhan dengan meningkatkan wawasan dan kesadaran masyarakat pesisir dan membentuk rasa memiliki /sense belonging masyarakat akan hutan mangrove.
Saya masih ingat beberapa bulan yang lalu bersama teman teman kampus ikut berpartisipasi dalam program penanaman mangrove dan artificial reef di daerah Surabaya dan Situbondo  . Program tersebut tidak hanya diikuti oleh kalangan mahasiswa saja, tetapi petani mangrove dan masyarakat sekitar juga turut berpartisipasi. Petani mangrove dan masyarakat sekitar itulah yang nantinya kedepan akan menjaga kelangsungan dan kelestarian hutan mangrove. Program sosialisasi dan penanaman seperti inilah yang perlu banyak dilakukan nantinya, sehingga diharapkan terwujudnya kondisi ekosistem mangrove yang optimal, lestari dan bermanfaat memberikan fungsi sebagai ‘green belt’ bagi kawasan pesisir, penyedia energi dan nutrisi bagi biota perairan, serta memberikan manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan.

g. pengenalan mangrove sejak dini
Bencana dan kerusakan alam itu tidak datang secara kebetulan. Kita juga tidak bisa begitu saja menyalahkan efek dari global warming yang secara tidak langsung menyebabkan kerusakan tersebut karena sebenarnya kita sendirilah  yang secara tidak sadar telah merusak alam. Pencemaran lingkungan akibat limbah kawasan industri, membuang sampah di sungai yang menyebabkan pendangkalan, pembangunan yang tidak memperhatikan AMDAL dan lain lain akan berakibat datangnya bencana yang tinggal menunggu waktu. Untuk itu marilah kita sekecil mungkin memberi perhatian kita pada lingkungan demi generasi masa depan yang lebih baik dan lestari.

Peta Indeks Risiko Bencana Gelombang Pasang/Abrasi di Indonesia

Peta di atas memiliki resolusi rendah dan mengalami distorsi informasi.
Detail:
Jenis Peta
:
Peta Ancaman Bencana
Sumber
:
Posko BNPB
Tanggal Pembuatan
:
10 Februari 2009
Format/Ukuran File
:
PDF/2,77 MB
Deskripsi
:
Peta menunjukkan tingkat risiko gelombang pasang/abrasi sampai dengan wilayah kabupaten di Indonesia
Mitigasi Abrasi sebagai Upaya Minimalisir Resiko Bencana Daerah Pesisir
Daerah pesisir merupakan daerah yang memiliki segudang potensi dan juga masalah. Seringkali potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena adanya masalah yang tidak dapat diselesaikan. Masalah yang terjadi bisa berupa masalah politik, sosial, tata ruang, lingkungan, sampai pada masalah teknis. Perencanaan daerah pesisir merupakan salah satu hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah karena Indonesia sebagai negara maritim memiliki lautan yang cukup luas.
Masalah yang terjadi di daerah pesisir sangat kompleks dan saling berkaitan sehingga pengelolaan resiko bencana ini tidak dapat dilakukan secara parsial tapi harus secara komprehensif. Masalah yang sering menjadi perhatian pada kawasan pesisir adalah masalah abrasi. Dampak negatif abrasi yang dapat terlihat adalah terkikisnya pantai dan dampak yang tidak dapt terlihat contohnya adalah intrusi air laut. Intrusi air laut ini dapat menyebabakan penurunan jumlah air tanah.
Resiko abrasi merupakan dampak merugikan yang terjadi akibat adanya abrasi. Resiko yang paling nyata adalah semakin berkurangnya luas daratan atau pulau yang terkena abrasi. Setiap tahun garis pantai semakin mundur karena adanya abrasi. Resiko abrasi dipengaruhi oleh hazard, vulnerability dan capacity. Hazard merupakan kondisi yang mengancam dan dapat menimbulkan kerugian baik material maupun non material, dalam hal ini hazard yang dihadapi oleh kawasan pesisir ini adalah abrasi. Vulnerability merupakan kondisi dimana sebuah komunitas rentan terkena bencana abrasi. Capacity merupakan kemampuan daerah pesisir untuk beradaptasi dalam menghadapi bahaya abrasi.
upaya untuk meminimalisir resiko abrasi. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memperkecil hazard dan vulnerability atau dengan meningkatkan capacity daerah pesisir. Hazard dari resiko abrasi sangat susah untuk diperkecil, sementara vulnerability juga tidak mudah diterapkan di Indonesia. Memperkecil nilai vulnerability ini dilakukan dengan membatasi atau melarang komunitas untuk beraktivitas dan tinggal di pesisir. Hal tersebut sangat susah dilakukan karena akan menimbulkan berbagai macam masalah terutama konflik sosial. Memperbesar nilai capacity merupakan solusi yang paling realistis untuk mengurangi resiko abrasi di pesisir.
Peningkatan capacity daerah pesisir untuk mengurangi resiko abrasi harus dilakukan secara komprehensif dan terdapat konsesi yang kuat antara semua pihak yang berkepentingan. Tanpa adanya itu, peningkatan capacity tidak dapat dilakukan dengan baik. Cara peningkatan capacity ini dapat dilakukan dengan adaptasi, mitigasi, dan inovasi sehingga tercipta daerah pesisir yang tangguh. Dari ketiga cara tersebut, mitigasi merupakan upaya yang dapat kita kembangkan dan terapkan rekayasanya.
Mitigasi abrasi di daerah pesisir ini akan dapat meningkatkan capacity dan mengurangi resiko abrasi sehingga akan tercipta daerah pesisir yang tangguh. Beberapa mitigasi yang dapat dilakukan antara lain membuat pemecah gelombang dan tanggul di sepanjang pantai, membuat hutan bakau, membuat rencana tata ruang detail untuk daerah pesisir dan beberapa cara lain.
Membuat rencana detail tata ruang daerah pesisir sangat penting untuk mengatur penggunaan lahan, pengelolaan potensi masalah di daerah pesisir dan mengarahkan pembangunan daerah pesisir. Rencana detail tata ruang ini digunakan untuk membuat zoning kawasan lindung dan budidaya. Setiap persil seharusnya ditentukan guna lahan, KDB, KLB, jumlah lantai agar pembangunan daerah pesisir dapat terarah.
Dalam rencana detail ini juga berisi di mana akan dibangun pemecah gelombang dan tanggul karena pemecah gelombang ini dapat menghambat perjalanan ombak ke pantai. Ombak akan terpecah saat melewati pemecah gelombang sehingga ombak yang mencapai bibir pantai memiliki kekuatan yang lebih kecil. Selain pemecah gelombang pembangunan tanggul di sepanjang pantai juga akan mengurangi resiko abrasi. Tanggul dapat menahan air laut sehingga air laut tidak dapat masuk ke pemukiman penduduk dan memperkuat daya tahan pinggir pantai. Selain itu dalam rencana detail tata ruang hutan bakau seharusnya menjadi kewajiban untuk semua daerah pesisir di Indonesia. Tanaman bakau dapat mengurangi resiko abrasi dan dapat mengurangi resiko intrusi air laut.
Dalam rencana detail dirumuskan pembangunan fisik dan pembangunan sosial ekonominya. Bagaimana pembangunan sosial ekonomi penduduk pesisir akan menetukan keberhasilan pembangunan fisik daerah pesisir tersebut. Pembangunan sosial selain bertujuan membuat keadaan sosial yang lebih manusiawi juga dibutuhkan agar penduduk pesisir dapat mengelola upaya mitigasi terhadap abrasi.
Pembuatan rencana detail tata ruang daerah pesisir sendiri tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan sepihak oleh pemerintah saja atau oleh mesyarakat saja. Rencana detail tata ruang ini harus dibuat bersama – sama oleh semua pihak yang memiliki kepentingan agar rencana tersebut dapat memberi manfaat untuk semua pihak. Terlebih lagi pembuatan rencana yang disetujui oleh semua pihak akan mudah direalisasikan. Rencana detail tata ruang yang benar dan diimplementasikan secara optimal akan dapat meningkatkan kapasitas daerah pesisir dan mengurangi resiko abrasi sehingga daerah pesisir menjadi daraeh yang tangguh.
Pengelolaan bencana di daerah pesisir harus dilakukan secara komprehensif sehingga dapat memberi manfaat dalam jangka panjang. Pembangunan daerah pesisir harus melibatkan seluruh pihak yang terkait sehingga rencana pembangunan daerah pesisir dapat diimplementasikan secara optimal. Pengurangan resiko abrasi akan membuat daerah pesisir yang tangguh dan pada akhirnya akan berujung pada keberlanjutan kehidupa daerah pesisir.
MITIGASI BENCANA SEDIMEN
Konsep Mitigasi Bencana Sedimen
Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Dalam Undang-undang RI No.24 tahun 2007 menyebutkan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi (Coburn et al., 1994).
Konsep mitigasi bencana adalah bahwa seorang yang bijaksana tidak akan mendekati daerah bahaya dan mengevakuasi diri dari bahaya. Konsep ini memiliki arti yang sangat penting dalam rangka mencengah ataupun mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi. Tidak bermukim pada daerah yang rawan longsor adalah salah satu bentuk mengimplementasi dari konsep ini, yakni tidak mendekati daerah berbahaya.
Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu :1) tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuktiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan
kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.

Strategi Mitigasi Bencana Sedimen

Beberapa strategi dalam mitigasi bencana dapat dilaksanakan sebagai suatu kebijakan sebagai

berikut:
v               Pemetaan
Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaan daerah rawan bencana.
Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta rawan bencana tersebut sangat bergunabagi pengambil keputusan terutama dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saatini penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : 1) Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan, 2) Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik, 3) Peta bencana belum terintegrasi, 4) Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga menyulitkan dalam prosesintegrasinya.
v               Pemantauan
Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi jika
sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan mudah melakukan penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategis secara jasa dan ekonomi dilakukan di beberapa kawasan rawan bencana.
v               Penyebaran informasi
Penyebaran informasi dilakukan antara laindengan cara: memberikan poster dan leaflet
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi seluruhIndonesia yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan elektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas.
v               Sosialisasi dan Penyuluhan
Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada SATKOR-LAK PB, SATLAK PB, danmasyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal penting yang perlu diketahui masyarakat dan pemerintah daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu dilakukandan dihindarkan di daerah rawan bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana.
v               Pelatihan/Pendidikan
Pelatihan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan penyelamatan jika terjadi bencana.
Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur informasi daripetugas lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB,SATLAK PB dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapibencana akan terbentuk.
v               Peringatan Dini
Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan hasil pengamatan
secara kontinyu disuatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini secara teknis dapat lakukan antara lain dengan pengalihan jalur jalan (sementara atau seterusnya), pengungsian dan atau relokasi.
Sedangkan tindakan yang dapat dilakukan selama dan sesudah kejadian bencana sedimen antara lain:

Ø               Tanggap darurat: yang dilakukan dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: kondisi medan, kondisi bencana, peralatan dan informasi bencana.
Ø               Rehabilitasi: upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan sedimen terkait bencana dan teknik pengendaliannya supaya sedimen terkait bencana tidak berkembang. Penentuan relokasi korban perlu ditetapkan jika bencana sedimen sulit dikendalikan.
Ø               Rekonstruksi: penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan bencana sedimen tidak menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh sedimen seperti tanah longsor, karena kerentanan untuk bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%.
Langkah Pengendalian Bencana Sedimen
Dalam kasus bencana sedimen, sangat sulit untuk melakukan tindakan secara menyeluruh
terhadap pengendalian disetiap lokasi yang rawan. Ini di sebabkan karenalokasi kejadian hampir tak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu, penting untuk mengurangi kerusakan dengan mendirikan peringatan yang efektif dan sistem evakuasi, yang mencakup jangkauan wilayah bahaya, prediksi fenomena berbahaya yang mengarah kebencana, dan penunjukan wilayah bahaya bencana sedimen. Sebenarnya, banyak kasus telah dilaporkan di mana orang tidak terkena dalam bencana sedimen karena mereka dievakuasi tepat pada waktunya dengan mendeteksi tanda-tanda bencana dengan cepat. Inijelas menunjukkan bahwa masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang potensi bencana di daerah mereka.
Sebelum zaman modern, beberapa orang tinggal di daerah rentan terhadap bencana sedimen. Mereka menurunkan pengalaman bencana dari generasi kegenerasi sebagai sejarah daerah mereka. Namun, dengan peningkatan jumlah penduduk dan perluasan lahan pertanian setelah memasuki zaman modern,penduduk yang tinggal di daerah berbahaya telah meningkat pesat. Masyarakat yang tinggal di daerahyang baru dikembangkan seringkali tidak memiliki pengetahuan tentang bencana sedimen.
Ada dua pendekatan untuk mengendalikan bencana sedimen yaitu dengan pendekatan struktur dan non struktur. Pendekatan dengan stuktur dapat dilakukan dengan cara membangun bangunan pengendali sedimen. Sedangkan pendekatan dengan non struktur dapat dilakukan mempertimbangkan metode seperti: (i) pengembangan sistem peringatan dan evakuasi (ii) membatasi penggunaan lahan pada daerah beresiko bencana sedimen (iii) mempersiapkan peta bahaya bencana dengan melibatkan masyarakat.
Mencegah terjadinya bencana dengan pengendalian faktor mekanis dan faktor pendorong dengan pendekatan struktur merupakan pendekatan yang paling dasar untuk pencegahan bencana. Pendekatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk merealisasikannya. Harus dipahami bahwa bencana kadang-kadang menyerang kita di luar kemampuan dan prediksi kita. Oleh karena bencana kadang sangatsulit untuk mengidentifikasi lokasi dan waktu kejadian sebelumnya. Pencegahan sempurna dari bencana sedimen hampir mustahil dilakukan meskipun dengan perkembangan teknologi yang maju saat ini, dengan demikian secara bersama upayayang terus menerus untukmencegah terjadinyabencana sedimen. Aspek lain yang penting menjadi fokus adalah untuk mencegah dampak lebih besar kerusakan jika bencana terjadi dan hal ini dapat dilakukan dengan sistem evakuasi yang efektif.
1 Pendekatan struktur terhadap aliran debris
Sebagai metodeuntuk pengendalian aliran debris, ada tiga metode yang dipertimbangkan: (i) mencegah gerakan aliran debris yang akan mulai bergerak, (ii) mencegah gerakan aliran debris yang sudah mulai bergerak, (iii) mengendalikan energi dari gerakan aliran debris. Tindakan pengendalian
terhadap aliran debris harus ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi topografi, subjek konservasi,penyebab aliran debris, daerah kejadian, daerah yang dialiri dan daerah sedimentasi.

2Pendekatan struktur terhadap pencegahan kegagalan lereng
Secara  umum,  pencegahan  bencana  terkait  kegagalan  lereng  dengan  menggunakan
pendekatan struktural diklasifikasikan menjadi dua jenis pekerjaan yaitu: pekerjaan pengawasan dan pekerjaan pengendalian. Pekerjaan pengawasan digunakan untuk mengurangi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan lereng, sedangkan pekerjaan pengendalian dimaksudkan untuk mencegah kegagalan lereng dengan instalasi struktur.

4.        PENGEMBANGAN SISTEM PERINGATAN DAN EVAKUASI

Sistem peringatan (warning system) merupakan serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena waktu yang sempit dari saat dikeluarkannya informasi dengan saat (dugaan) datangnya bencana. Kondisi kritis, waktu sempit, bencana besar dan penyelamatan penduduk merupakan faktor-faktor yang membutuhkan peringatan dini. Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu bagi penduduk untuk meresponnya.

Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya merupakan muara dari suatu alur proses analisis data mentah tentang sumber bencana dan sintesis dari berbagai pertimbangan. Ketepatan informasi hanya dapat dicapai apabila kualitas analisis menuju pada keluarnya informasi mempunyai ketepatan yang tinggi. Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua bagian utama dalam peringatan dini yaitu bagian hulu yang berupa usaha-usaha untuk mengemas data menjadi informasi yang tepat dan bagian hilir berupa usaha agar infomasi cepat sampai di masyarakat.

Bagi masyarakat Indonesia, sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana sangatlah penting, mengingat secara geologis dan klimatologis wilayah Indonesia termasuk daerah rawan bencana alam. Dengan ini diharapkan akan dapat dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah atau paling tidak mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat. Keterlambatan dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi masyarakat. Dalam siklus manajemen penanggulangan bencana, sistem peringatan dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap kesiagaan, sistem peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun instrumentasinya. Tujuan akhir dari peringatan dini ini adalah masyarakat dapat tinggal dan beraktivitas dengan aman pada suatu daerah serta tertatanya suatu kawasan. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut maka sebelumnya perlu dicapai beberapa hal sebagai berikut; (a) diketahuinya daerah-daerah rawan bencana di Indonesia, (b) meningkatkan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan praktik (practice) dari masyarakat dan aparat terhadap fenomena bencana, gejala-gejala awal dan mitigasinya, (c) tertatanya suatu kawasan dengan mempertimbangkan potensi bencana, (d) secara umum perlu pemahaman terhadap sumber bencana.
Evakuasi adalah perpindahan langsung dan cepat bagi orang-orang untuk menjauh dari ancaman atau kejadian yang membahayakan. Evakuasi merupakan bagian dari manajemenbencana.Rencana evakuasi dikembangkan untuk memastikan waktu evakuasi yang paling aman dan efisien bagi penduduk dari ancaman suatu bangunan, kota, atau wilayah. Urutan evakuasi dapat dibagi ke dalam tahap-tahap berikut:
v               deteksi
v               keputusan
v               alarm
v               reaksi
4.1         Aplikasi Ambang Batas Curah Hujan untuk Peringatan Dini
Penggunaan sistem peringatan berbasis ambang batas curah hujan telah banyak digunakan
pada berbagai tipe bencana di dunia. Secara umum, ada dua jenis ambang batas curah hujan yaitu; ambang batas empiris (emperical thresholds) dan ambang batas fisik (physical thresholds). Ambang batas empiris adalah nilai relasional berdasarkan analisis statistik hubungan antara kejadian hujan dan tanah longsor, aliran debris atau kegagalan lereng,sedangkan ambang batas fisik biasanya digambarkan dengan bantuan model hidrologi dan stabilitas yang mempertimbangkan parameter seperti hubungan antara curah hujan dan tekanan air-pori, infiltrasi, morfologi lereng dan struktur batuan dasar.
Sistem peringatan berbasis ambang batas empiris menggunakan komponen terkait dengan prakiraan curah hujan, real-time pengamatan curah hujan dan ambang batas curah hujan dengan tanah longsor atau aliran debris. Sistem peringatan ini pertama kali dikembangkan oleh USGS di San Francisco (Keefer et al., 1987; Wilson dan Wieczorek, 1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada perkiraan kuantitatifcurah hujan (6 jam curah hujan mendatang) dari kantor pelayanan cuaca nasional dalam sebuah sistem jaringan alat pengukur curah hujan real-time lebih dari 40 buah secara terus menerus dan ambang batas curah hujan yang menginisiasi tanah longsor (Cannon dan Ellen, 1985).
Sistem serupa juga dikembangkan di Hong Kong (Brand et al., 1984.), Italia (Sirangelo dan Braca, 2001), Jepang (Onodera et al., 1974), Selandia Baru (Crozier, 1999), Afrika Selatan (Gardland dan Olivier, 1993) dan Virginia (Wieczorek dan Guzzetti, 1999). Di Hong Kong telah menerapkan sistem komputer secara otomatis untuk sistem peringatan tanah longsor dan ini merupakan sistem yang pertama kali di dunia untuk pendugaan tanah longsor (Premchitt, 1997). Sistem peringatan tanah longsor ini berdasarkan perkiraan curah hujan jangka pendek dan sistem ini dilengkapi alat pengukur curah hujan sebanyak 86 buah. Peringatan akan tanah longsor umumnya dikeluarkan jika dalam 24 jam hujan diperkirakan akan melebihi 175 mm atau dalam satu jam curah hujan diperkirakan akan melebihi 70 mm. Dalam situasi seperti ini radio lokal dan stasiun televisi diminta untuk menyiarkan peringatan kepada publik secara berkala.
Ketika mengidentifikasi ambang batas peringatan maka adalah penting untuk mempertimbangkan dua hal pokok yaitu kecenderungan untuk memicu ambang batas dan masalah logistik yangbisa terjadi selama prosedur darurat evakuasi. Misalnya, batasan peringatan dapat
didefinisikan sebagaikurva yang sejajar dengan ambang memicu(kurva A pada Gambar 7), atau kurva yang ditetapkan sebagai waktu kritis “∆tc” (yaitu waktu minimum yang diperlukan untuk mengevakuasi penduduk dari bahaya), bersifat konstan tidak terpengaruh dari jalur hujan dari curah hujan kritis, ∆tc1= ∆tc2 (kurva B pada Gambar18). Sedangkan diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor dapat dilihat pada
Ambang Batas Curah Hujan untuk tanah longsor di Sulawesi Selatan
Suatu penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan tentang ambang batas curah hujan terhadap tanah longsor khususnya tanah longsor dangkal. Penelitian ini menunjukkan bahwa durasi hujan pendek dengan intensitas curah hujan tinggi memicu tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa intensitas curah hujan di atas 50 mm/jam dapat menyebabkan tanah longsor dangkal yang dapat mengakibatkan kerusakan harta benda dan kehilangan jiwa manusia (Gambar 9).











Tidak ada komentar:

Posting Komentar