Translate

Kamis, 03 Desember 2015

EVALUASI SUMBER DAYA LAHAN ( KLASIFIKASI BENTUK LAHAN

MATA KULIAH EVALUASI SUMBER DAYA LAHAN

KLASIFIKASI LAHAN






yang bener ini.JPG







OLEH :

JUMADIL AKBAR
MIFTAHUL KHAERATI
MULIDAWATI HARIS
IRMAN RAHMAN
FIRDAYANTI ARIF
ANDI HASMIDAR
DWI ULFA ANASTASYA






JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015
1.        PENDAHULUAN
Minat untuk mempelajari klasifikasi sumberdaya lahan akhir-akhir ini sangat me­ningkat, meskipun sebenarnya topik tersebut tidaklah merupakan suatu hal yang baru. Hal ini terutama erat kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi para pe­ngelola sumberdaya lahan terhadap perubahan-perubahan atau pengaruh lingkungan yang disebabkan tindakan-tindakan penggunaan sumberdaya yang semakin kompleks serta sistem penanganan data modern di dalam usaha menganalisis secara cepat situasi­situasi yang kompleks tersebut.
Di dalam menangani pengelolaan sumberdaya lahan yang kompleks tersebut, para pengelola umumnya memerlukan data dasar dan sekaligus sistem klasifikasi. Hal ini terutama diperlukan untuk dapat memanfaatkan berbagai informasi sumber­daya yang kompleks dalam pengambilan keputusan -keputusan, yang tentunya hams berhubungan dengan sifat-sifat umum dari sumberdaya lahan tersebut (Nelson, Harris dan Hamilton, 1978).
Walaupun diketahui akan pentingnya sistem klasifikasi lahan ini, tetapi kenya­taan umum yang telah diterima bersama menunjukkan bahwa tidak satu pun dari sistem-sistem klasifikasi lahan yang ada, sesuai digunakan untuk segala keperluan. Namun demikian informasi-informasi yang dapat diperbandingkan pada setiap sis­tem klasifikasi sangat bernilai untuk pertimbangan secara terus menerus. Walau tidak satu pun sistem klasifikasi lahan yang secara praktis dapat digunakan untuk segala keperluan, para ahli klasifikasi lahan mempertimbangkan akan perlunya hasil­hasil survai dan klasifikasi lahan didiskusikan dalam istilah-istilah yang dapat diper­bandingkan. Paling tidak sistem klasifikasi lahan yang digunakan pada berbagai ting­kat pengelolaan pada suatu daerah atau wilayah sebaiknya seragam, agar keputusan­keputusan yang diambil untuk keperluan setempat dapat selalu berhubungan dengan obyektivitas pada tingkat wilayah atau nasional.
2.        PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KLASIFIKASI
Klasifikasi pada dasarnya adalah pengelompokan obyek tertentu yang sama atau sejenis dan pemisahan obyek yang berbeda (Nelson et al, 1978). Ini berarti meru­pakan teknik informasi untuk secara sistematis menamai obyek yang diklasifikasi­kan dan menunjukkan hubungan-hubungan di antara mereka. Hasil dari proses ini adalah sistem klasifikasi, sedangkan penempatan obyek ke dalam sistem tersebut di­sebut identifikasi (Sokal, 1974). Identifikasi obyek selanjutnya diikuti dengan de­lineasi daerah-daerah lahan dalam bentuk kegiatan pemetaan atau regionalisasi. Ilmu klasifikasi itu sendiri disebut taksonomi (Bailey, Pfister dan Henderson, 1978).
Pengertian klasifikasi telah digunakan secara agak longgar (tidak terlalu ketat) dalam sebagian besar bidang survai sumberdaya di bawah semua pengertian-penger­tian tersebut. Karena istilah klasifikasi umumnya digunakan dalam konteks yang luas, maka dalam uraian-uraian berikut ini, penulis akan memasukkan seluruh as­pek-aspek yang berhubungan dengan proses klasifikasi ini, identifikasi dan regionali­sasi dalam istilah klasifikasi.
Filosofi dari ilmu pengetahuan pada umumnya didasarkan atas penerimaan aksioma klasifikasi, di mana terdapat kelompok (group) obyek atau fenomena yang sejenis yang dapat diperlakukan sebagai satuan tunggal (single unit)untuk keperluan membuat generalisasi yang sahih tentang aspek-aspek tingkah lakunya (Johnston, 1976). Dengan demikian memungkinkan untuk menyusun berbagai klasifikasi yang berbeda tergantung keperluan studi yang akan dilakukan.
Keperluan prosedur klasifikasi secara umum adalah untuk memberikan penge­lompokan yang sahih bagi aktivitas ilmiah yang sedang dilakukan. Dalam kegiatan ini pertama sekali kriteria klasifikasi hams ditentukan, dan kemudian obyek yang diukur dialokasikan ke dalam kelas-kelas.
Perlu ditekankan bahwa klasifikasi adalah buatan manusia dan bukan alami, dan bahwa sekumpulan obyek dapat diatur dalam banyak cara yang berbeda menu- rut prosedur klasifikasi yang digunakan di dalam seperangkat data.
Meskipun prosedur klasifikasi dapat dilakukan dalam berbagai cara, sebagian besar ahli setuju pada keperluan mendasar klasifikasi yaitu untuk memberikan pengelompokan yang sahih bagi aktivitas ilmiah yang sedang dilakukan dan untuk dapat menyusun secara umum tentang obyek yang diklasifikasikan (lihat misalnya Grigg, 1965; Sokal, 1974; Johnston, 1976).
Kegunaan klasifikasi dalam evaluasi dan pengelolaan lahan adalah untuk me­ngumpulkan informasi, mengorganisasikan dan mengkomunikasikannya untuk ke­perluan pengambilan keputusan. Banyak sekali informasi yang dibutuhkan untuk keperluan ini, yang dapat dikelompokkan secara umum ke dalam dua tipe yaitu kultural dan alami. Informasi kultural meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan administratif. Informasi alami meliputi sumberdaya dasar yang menentukan kemam­puan lahan itu sendiri untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Jenis informa­si yang terakhir ini akan mendapatkan penekanan dalam pembahasan-pembahasan pada bab-bab berikutnya.
Salah satu fungsi dari suatu sistem klasifikasi adalah untuk memberi kemung­kinan melakukan penyidikan mengenai obyek-obyek yang diklasifikasikan. Data deskriptif dan data yang diinterpretasikan digabungkan menjadi satuan kelas (a classified unit) sehingga bagi hal yang sama tidak diperlukan lagi pengulangan­pengulangan, baik dalam deskripsi maupun dalam interpretasi. Oleh karena itu pro­sedur dalam klasifikasi seharusnya dapat memberikan keterangan-keterangan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan pada berbagai tingkat geografis atau administratif.
Klasifikasi penting dalam usaha untuk mengerti dan mengelola sumberdaya la­han, karena klasifikasi dapat menciptakan keteraturan dari data yang akan diinter­pretasi serta mengurangi jumlah menjadi lebih kecil dari jumlah total obyek melalui pembentukan kelas-kelas.
Dikenal enam prinsip umum dalam klasifikasi (Gilmour, 1951 dalam Bailey, Pfister dan Henderson, 1978) sebagai berikut :
  1. Klasifikasi merupakan prasyarat bagi semua pemikiran konsepsi, tidak tergan­tung dari subyek yang sedang dipikirkan.
  2. Kegunaan utama dari klasifikasi adalah untuk membangun kelas-kelas, di mana kita dapat membuat generalisasi induktif.
  3. Kelas-kelas tertentu yang dibangun akan selalu timbul dalam hubungannya de­ngan keperluan tertentu.
  4. Klasifikasi yang diadopsi untuk setiap perangkat obyek tergantung dari bidang tertentu di mana generalisasi induktif tersebut akan dilakukan. Bidang generalisa­si yang berbeda membutuhkan klasifikasi yang berbeda pula.
  5. Klasifikasi mempunyai tingkat penggunaan yang berbeda-beda. Sebagian klasi­fikasi bersifat lebih umum penggunaannya dibandingkan dengan yang lainnya. Klasifikasi yang diperuntukkan untuk sejumlah besar penggunaan disebut alami (natural) sedangkan klasifikasi yang diperuntukkan untuk keperluan yang lebih terbatas disebut buatan (artificial).
  6. Tidak ada satu pun sistem klasifikasi yang sifatnya ideal atau absolut untuk setiap perangkat obyek tertentu. Akan tetapi selalu ada sejumlah sistem klasi­fikasi yang berbeda dalam dasar-dasar pemikirannya sesuai dengan keperluan penyusunan klasifikasi tersebut.

3.        METODE KLASIFIKASI
Seperti telah diuraikan sebelumnya prinsip dasar pada setiap klasifikasi adalah mengkombinasikan individu-individu yang sama untuk menghasilkan kelompok. Banyak alternatip perangkat tatacara yang tersedia dalam mengelompokkan indi­vidu-individu tersebut. Pemilihan di antara tatacara tersebut tergantung dari berba­gai faktor seperti keadaan pengukuran atau sifat-sifat data dari obyek yang sedang dipelajari dan sasaran klasifikasi itu sendiri. Berbagai macam metode klasifikasi yang dikenal akan diuraikan berikut ini.
3.1. Klasifikasi Berdasarkan Satu Faktor dan Berdasarkan Faktor Ganda
Klasifikasi berdasarkan satu faktor (single factor atau monothetic classification) merupakan klasifikasi yang menggunakan hanya satu faktor tertentu di dalam meng­Idasifikasikan obyek-obyek yang sedang dipelajari. Sebagai contoh, klasifikasi lo­kasi (sites) yang didasarkan atas pengukuran produktivitas dapat dikatakan sebagai klasifikasi satu faktor di dalam pengembangan, penggunaan dan interpretasinya.
Sebaliknya, klasifikasi berdasarkan faktor ganda (multifactor atau polythetic classification) menggunakan beberapa faktor di dalam mengkelaskan obyek yang sedang dipelajari. Sebagai contoh, tipe tanah dan tipe habitat dapat disederhanakan ke dalam sejumlah kecil sifat-sifatnya yang menonjol yang dapat digunakan dalam mengidentifikasikan macam dan diinterpretasikan untuk berbagai keperluan. Salah satu aspek yang menonjol dari klasifikasi faktor ganda tersebut adalah korelasinya yang cukup baik dengan beberapa nilai sumberdaya itu sendiri (Bailey et al, 1978).
Untuk dapat memperoleh kegunaan maksimal, klasifikasi sebaiknya didasarkan atas faktor ganda, tetapi perlu diperhatikan agar hanya faktor-faktor yang telah di­ketahui pengaruhnya terhadap perihal yang sedang dipelajari yang diikutsertakan. Pada kenyataannya, sekali klasifikasi sudah dikembangkan atas dasar faktor ganda, klasifikasi tersebut sering dapat ditentukan atau dikenal berdasarkan atas hanya beberapa sifat-sifat yang menonjol, sehingga memungkinkan orang lain dapat meng­gunakannya tanpa harus faham betul mengenai seluruh sifat-sifat yang digunakan dalam menyusun dan mengembangkan sistem tersebut.
3.2. Klasifikasi Tingkat Tunggal dan Klasifikasi Hirarki
Klasifikasi tingkat tunggal (single level) hanya menggunakan satu tingkatan da­lam sistem klasifikasinya. Sebaliknya klasifikasi hirarki menggunakan beberapa ting­kat dalam bentuk hirarki yang membentuk kelas-kelas ordo (orders classes) dari obyek yang sedang dipelajari sehingga hubungan-hubungan di antara mereka dapat diketahui. Masing-masing tingkatan yang lebih tinggi merupakan agregasi dari ang­gota-anggota kelas yang berada di bawahnya. Apabila satu kelas telah diketahui pada suatu tingkat tertentu dalam sistem hirarki, maka seseorang secara otomatis dapat mengetahui semua kelas-kelas yang ada pada tingkat-tingkat di atasnya. Se­bagaiilustrasi dari sistem hirarki ini.
Apabila satuan-satuan di lapangan telah diidentifikasikan pada tingkat yang paling rendah dari hirarki tersebut, maka data tersebut kemudian dapat juga dike­lompokkan kembali ke dalam hirarki yang berbeda untuk suatu keperluan lainnya. Dengan demikian terdapat fleksibilitas di dalam mengembangkan macam hirarki yang berbeda untuk keperluan yang berbeda, seperti misalnya yang digunakan dalam klasifikasi taksonomi tanah (lihat Soil Survey Staff, 1975).
Para perencana lebih menyukai sistem klasifikasi hirarki karena umumnya dapat lebih mudah digunakan untuk berbagai tingkat perencanaan yang diperlukan.
3.3. Klasifikasi Berdasarkan Agregasi atau Aglomeratif dan Klasifikasi Berdasar­kan Penguraian
Sistem klasifikasi dapat dibangun dengan dua cara yaitu agregasi atau aglomeratif dan penguraian (subdivision) (Wright, 1972 ; Johnston, 1976; Bailey et al, 1978).
Klasifikasi berdasarkan agregasi atau aglomeratif dimulai dari sejumlah individu­individu, kemudian dengan menggunakan peraturan-peraturan tertentu mengaloka­sikannya ke dalam kelompok atau kelas menurut tingkat kesamaannya pada 'crite­ria yang telah dipilih. Dalam hal ini pendekatannya adalah dari bawah ke atas di mana individu taksonomi dikelompokkan ke dalam kelompok berikutnya yang lebih luas sifatnya. Sebaliknya, penguraian (subdivision) dimulai dari satuan yang luas (mi­salnya pulau) dan kemudian dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil. Dengan kata lain pendekatannya adalah dari atas ke bawah di mana keseluruhan po­pulasi dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil. Berbagai contoh dari kedua metode ini (aglomeratif dan penguraian) telah diuraikan secara panjang lebar dalam Wright (1972) dan Johnston (1976). Sebagai pegangan umum, taksonomi di­dasarkan atas agregasi atau aglomerasi sedangkan regionalisasi didasarkan atas peng­uraian.

4.        PENGERTIAN KLASIFIKASI LAHAN
Istilah klasifikasi lahan telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang studi. Oleh karena itu istilah tersebut mempunyai beberapa perbedaan dalam pengertian­nya. Dalam uraian ini, klasifikasi lahan didefinisikan sebagai pengaturan satuan­satuan lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuai­annya untuk berbagai penggunaan (Soil Conservation Society of America, 1982. hal. 87).
Klasifikasi lahan merupakan pengembangan sistem logika untuk pengaturan dari berbagai macam lahan ke dalam kategori-kategori yang ditentukan menurut sifat­sifat lahan itu sendiri. Sifat-sifat ini dapat meliputi sifat-sifat yang dapat diamati secara langsung, seperti kemiringan lereng atau sifat-sifat yang ditetapkan hanya dengan penyidikan, seperti kesuburan tanah. Sistem klasifikasi lahan sering diran­cang untuk keperluan yang sangat terbatas dan mungkin hanya menekankan pada sifat lahan tertentu.
Sistem komprehensif klasifikasi lahan yang akan dapat digunakan untuk segala keperluan hanya mungkin dikembangkan apabila pengetahuan kita tentang seluruh cabang ilmu telah sempurna dan terintegrasi secara tepat. Tahapan kesempurna­an seperti ini belumlah tercapai dan mungkin tidak akan pernah tercapai. Karena itu, beberapa sistem yang bersifat pragmatis atau teknis praktis telah dikembang­kan, yang didasarkan atas konsep-konsep mendasar.
Sejumlah pendekatan untuk klasifikasi lahan telah dikemukakan, seperti yang telah ditelaah oleh berbagai ahli misalnya Lacate (1961), Mabbutt (1968), Wright (1972), Mitchell (1973), Olson (1974), Whyte (1976), Higgins (1977), Zonneveld (1979), McRae dan Burnham (1981), dan Dent dan Young (1981). Beberapa di an­tara sistem klasifikasi lahan tersebut akan ditinjau dan dibahas dalam Bab VI dan VII.
Prosedur klasifikasi lahan bervariasi dari satu sistem ke sistem lainnya karena adanya perbedaan-perbedaan dalam prinsip-prinsip, asumsi-asumsi dan kepentingan­nya. Selain itu untuk mencapai keperluan yang sama, sifat lahan yang sama dapat diintegrasikan secara berbeda, dengan memberikan bobot yang berbeda di dalam kombinasi-kombinasi yang tidak serupa (Kellogg, 1951). Akan tetapi hampir sernua sistem disusun sebagai upaya untuk membantu dalam perencanaan, baik untuk men­jamin kisaran berbagai alternatip untuk penggunaan pilihan yang dipertimbangkan gas dasar kebaikan atau keburukannya, maupun untuk memperkecil bahaya sebagai konsekuensi perubahan dari penggunaan sekarang, dan memperbesar manfaatnya.
Sebagian besar dari sistem menyelesaikan klasifikasi lahan dengan jalan membagi lahan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil yang merupakan satuan-satuan lahan yang lebih seragam untuk memperoleh deskripsi yang lebih sederhana dan lebih te­pat (Beckett dan Webster, 1965). Dalam prosedur urai (divisive) ini, yang menjadi permasalahan adalah untuk mendapatkan metode yang konsisten dalam membatasi satuan-satuan di lapangan dan akhirnya pada peta-peta.
Ada dua pertimbangan yang biasanya digunakan untuk mendeliniasi satuan-sa­tuan lahan : sifat dapat dikenal dan sifat dapat direproduksikan (Beckett dan Webster, 1965). Sifat dapat dikenal berhubungan dengan pengembangan identitas dari satuan-satuan dan sifat-sifat pembeda yang dibutuhkan untuk dipilih (Cline, 1949; Beckett dan Webster, 1965). Sifat-sifat pembeda harus merupakan ciri intrin­sik lahan yang diklasifikasikan (Wright, 1972).
Adapun ciri lahan yang dapat dipilih sebagai sifat-sifat pembeda jumlahnya tidak terbatas. Pendekatan umum yang dilakukan adalah memilih ciri yang dapat dilihat dan diukur untuk dapat memudahkan penentuan batas-batas satuan lahan di la­pangan.
Sifat dapat direproduksikan bersifat sangat subyektip dalam banyak sistem kla­sifikasi lahan dan pada saat ditentukan umumnya dipertimbangkan dalam istilah relatip. Menurut Beckett dan Webster (1965) sifat dapat direproduksikan berhu­bungan dengan kesamaan sifat dari kejadian yang berbeda pada satuan lahan yang sama.
Banyak batas-batas dalam pemetaan kelas-kelas lahan dapat diidentifikasikan dari citra penginderaan jauh, terutama berasal dari foto-foto udara pankhromatik konvensional. Yang disebut terakhir telah digunakan secara luas dalam kegiatan survai tanah dan survai sumberdaya lahan lainnya, untuk memberikan model stereos­kopik medan yang akan digunakan dalam menggambarkan batas-batas satuan lahan, yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pengecekan berikutnya di lapangan (Thomas, 1980). Lebih jauh lagi foto udara dan citra penginderaan jauh merupakan alat lapangan yang sangat penting untuk dapat memperoleh data penggunaan lahan yang dapat diamati dan sifat lahan lainnya. Foto udara juga dapat digunakan sebagai peta dasar, dan tergantung dari skalanya, gambar tersebut dapat berisi sejumlah besar titik-titik kontrol sehingga memungkinkan penempatan yang sangat tepat dari lokasi lapang yang mempunyai berbagai fenomena (Aldrich, 1981).
Klasifikasi lahan konvensional telah dikembangkan terutama dalam hunbungannya survey tanah, dan klasifikasi lahan sering digunakan untuk mewakili  fase kedua pemetaan yang didasarkan atas interpretasi hasil-hasil survey tanah atau satuan-satuan peta tanah. Di Kanada hal semacam ini disebut klasifikasi kemampuan tanah (Canada Land Inventory, 1965). Banyak pemetaan fase kedua seperti diatas dikaitkan dengan potensi penggunaan lahan. Akan tetapi, Zoneveld (1979) tidak menyetujui penggunaan istilah klasifikasi lahanuntuk aktivitas yang melibatkan evaluasi, sebagai penggantinya dia mengusulkan penggunaan istilah klasifikasi lahan pragmatis.
Klasifikasi lahan sering dihadapkan dalam berbagai permasalahan. Sebagai contoh, hampir semua system klasifikasi lahan mengkelaskan lahan dalam berbagai tingkat kategori yang peda akhirnya disajikan dalam bentuk peta. Oleh karena itu pemetaan sering sangat mahal dan sangat menyita waktu, terutama apabila penarikan batas-batas dilakukan dengan ketepatan yang memadai dalam kaitamya dengan pengujian sifat-sifat mendetail setempat. Oleh karena itu, untuk keperluan pemetaan khususnya dalam skala kecil (misalnya pemetaan tingkat tinjau), lahan yang berbeda kadang-kadang harus dikelompokkan kedalam asosiasi geografik atau kompleks yang ditentukan menurut satuan-satuan takstonomik dalam system klasifikasi. Dalam hal ini klasifikasi lahan merupakan suatu proses integrative (Nelson et al. 1978). Salah satu fungsi dari setiap system klasifikasi lahan ialah memungkinkan melakukan penyapenyidikan terhadap objek yang sedang diklasifikasikan. Dalam hampir semua penggunaan sistem klasifikasi memberikan kerangka untuk menginventarisasi secara interdisipliner, dan pada gilirannya obyek atau lahan yang disidik mengontrol kemampuan system itu (Nelson et al. 1978).
Paling tidak dikenal tiga masalah utama dan mengklasifikasikan lahan (Mabbut, 1968; Zonneveld, 1979). Pertama, masalah tentang kekompleksan sifat lahan, variasi ruang, dan kesulitan dalm menyederhanakan hubungan-hubungan antar sifat-sifat tersebut. Kedua, masalah dalam menetukan jangkauan, dan kemudian lokasi batas-batas lahan yang mempunyai sejumlah besar sifat yang bervariasi dalam ekspresi ruang yang berbeda, yang menyebabkan batas satuan dapat ditentukan secara tajam atau berangsur dalam suatu kesinambungan (continun). Ketiga, masalah asosiasi sebagai hasil dari interelasi dari daerah-daerah yang berdekatan yang berarti bahwa masing-masing area lebih merupakan system terbuka daripada system tertutup.

5.        VARIABILITAS TANAH ALAMI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KLASIFIKASI LAHAN DAN SATUAN PETA LAHAN
Pengetahuan mengenai variabilitas  didalam setiap bidang lahan sangat penting dalam merencanakan penggunaan lahan dan dalam menentukan tindakan pengelolaan berbagai aspek pertanian misalnya penggunaan pupuk, irgasi, dan sebagainya. Pengetahuan ini juga penting dalam survai tanah dalam menetukan batas-batas kelas (Beckett dan Webster, 1971).
Ø  Variasi ciri tanah dari dari suatu titik ke titik lain dalam bentangan lahan merupakan konsekuensi dari banyak faktor yang berbeda yang berinteraksi secara erat  satu dengan yang lainnya (Varazashvili, Litayev<dan petrova, 1976).
Ø  Bracewell, Roberston dan logan (1979) memperoleh variasi yang cukup besar pada jarak pendek dalam hhampir semua ciri kimia tanah yang mereka ukur, terutama dalam kadar bahan organik dan katoin yang dapat depertukarkan.
Ø  Variasi lateral kadar liat telah dipelajari oleh Websrter dan Wong (1969),
Ø  Variasi dalam pH oleh Webster dan Cuanalo (1975), mendiskusikan variasi tanah dalam konteks klasifikasi wilayah (regional classification), Webster (1997), dalam studi analisis variabilitasnya , Campbell (1978) menemukan bahwa variasi pH dari satu tempat ke tempat lain bersifat acak  dan tidak ada pola perubahan yang dapat diidentifikasikan . Sebaliknya variasi yang jelas terlihat pada kandungan pasir tanah, variasi lengkap dijumpai pada jarak 30-40 m.
Becket dan webster (1971) telah mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan variabilitas tanah diantaranya adalah;
·         Gradien wilayah karena iklim,
·         Menghasilkan gradien tanah jangka panjang
·         Alur-alur buat cacing menghasilkan perbedaan-perbedaan pada jarak yang pendek
McIntosh Backholm dan Smith (1981) menyimpulkan bahwa variasi tanah didaerah berbukit dipengaruhi oleh ;
  • Aspek Lereng
  • Ketinggian,
  • Vegetasi,
  • Pemudaan tanah kembal,
  • Letak lereng
Kantey, dan Morse,(1965). Varietas tanah juga tergantung tipe bahan induk. McIntosh et al (1981) menemukan bahwa perbedaan-perbedaan dalam kandungan unsur hara penting pada lapisan tanah atas. Terutama status P dalam hubungannya dengan perbedaan-perbedaan dalam macam vegetasi penutup.
Betney,( 1968) menemukan bahwa variasi tanah berhubungan dengan perubahan-perubahan geologi setempat dan berpendapat bahea studi-studi tanah geomorfologi sangat membantu dalam penempatan batas-batas tanah.
Nortcliff (1978), menggunakan bahan induk tanah sebagai pemisah permulaan untuk mengidentifikasi pola-pola variabilitas tanah. Akan tetapi dia menemukan variasi setempat yang cukup besar di dalam satuan-satuan pemisah permulaan tersebut. Chittleborough(1978) menemukan bahwa variabilitas sifat individu tanah berbeda sangat luas.
Areola (1982) menemukan beberapa sifat tanah sangat bervariasi di dalam satuan lahan yang digunakan, dalam hal ini faset (facet) ( misalnya batuan, basa-basa dapat dipertukarkan, kapasitas tukar kation, karbon organik, nitrogen, fosfor dan kalium), sedangkan beberapa sifat lainnya seperti pH dan kejenuhan basa menunjukan keseragaman.
Milfred dan Kiefer (1976) mengusulkan penggunaan Foto udarayang berulang untuk membantu mengidentidikasi dan mengevaluasi variasi di dalam satuan-satuan peta tanah. Webster (1976) telah mendiskusikan variasi berbagai sifat-sifat tanah yang berubah secara pertikal dari permukaan menuju ke batuan induk, dan juga secara lateral.
Beckett (1967) perubahan yang tajam dalam tanah yang disebabkan antara lain oleh perubahan yang jelas dalam batuan tana, lereng ataupun draenase akan menaikan variasi dalam seri tanah. Lumb( 1966) juga menyimpulkan bahwa ciritanah tidak akan tetap pada semua titik dalam massa tanah, melainkan akan tergantung pada lokasi titik tersebut, dalam profil tanah.
Blith dan Macleod (1978) mengemukakan pentingnya peranan variabilitas tanah dalam mempelajari hubungan antara pertumbuhan pohon dan ciri tanah, terutama untuk penilaian kemampuan hutan, dimana produk sikayu diprediksi dari hubungan yang telah diketahui antara pertumbuhan pohon  dan sifat-sifat lahan.
Harris (1915) menyatakan bahwa heteregenitas  lebih mungkin terjadi sebagai alibis ketidakrataan lapangan daripada sebagai akibat perubahan yang relatip seragam sepanjang lapangan tersebut. Jarvis (1976) menambahkan bahwa sifat-sifat tanah yang dipengaruuhi oleh penggunaan pupuk atau tindakan-tindakan perbaikan lainnya Pengapuran ) akan lebih bervarasi. Chew (1958) mengusulkan pengambilan contoh tanah secara acak sederhana dalam pekerjaan survai-survai yang berhubungan denga sifat-sifat kimia, fisik dan biologi tanah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar