MATA
KULIAH EVALUASI SUMBER DAYA LAHAN
KLASIFIKASI
LAHAN
OLEH
:
JUMADIL
AKBAR
MIFTAHUL
KHAERATI
MULIDAWATI
HARIS
IRMAN
RAHMAN
FIRDAYANTI
ARIF
ANDI
HASMIDAR
DWI
ULFA ANASTASYA
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015
1.
PENDAHULUAN
Minat
untuk mempelajari klasifikasi sumberdaya lahan akhir-akhir ini sangat meningkat,
meskipun sebenarnya topik tersebut tidaklah merupakan suatu hal yang baru. Hal
ini terutama erat kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi para pengelola
sumberdaya lahan terhadap perubahan-perubahan atau pengaruh lingkungan yang
disebabkan tindakan-tindakan penggunaan sumberdaya yang semakin kompleks serta
sistem penanganan data modern di dalam usaha menganalisis secara cepat situasisituasi
yang kompleks tersebut.
Di
dalam menangani pengelolaan sumberdaya lahan yang kompleks tersebut, para
pengelola umumnya memerlukan data dasar dan sekaligus sistem klasifikasi. Hal
ini terutama diperlukan untuk dapat memanfaatkan berbagai informasi sumberdaya
yang kompleks dalam pengambilan keputusan -keputusan, yang tentunya hams
berhubungan dengan sifat-sifat umum dari sumberdaya lahan tersebut (Nelson,
Harris dan Hamilton, 1978).
Walaupun
diketahui akan pentingnya sistem klasifikasi lahan ini, tetapi kenyataan umum
yang telah diterima bersama menunjukkan bahwa tidak satu pun dari sistem-sistem
klasifikasi lahan yang ada, sesuai digunakan untuk segala keperluan. Namun
demikian informasi-informasi yang dapat diperbandingkan pada setiap sistem
klasifikasi sangat bernilai untuk pertimbangan secara terus menerus. Walau
tidak satu pun sistem klasifikasi lahan yang secara praktis dapat digunakan
untuk segala keperluan, para ahli klasifikasi lahan mempertimbangkan akan perlunya
hasilhasil survai dan klasifikasi lahan didiskusikan dalam istilah-istilah
yang dapat diperbandingkan. Paling tidak sistem klasifikasi lahan yang
digunakan pada berbagai tingkat pengelolaan pada suatu daerah atau wilayah
sebaiknya seragam, agar keputusankeputusan yang diambil untuk keperluan
setempat dapat selalu berhubungan dengan obyektivitas pada tingkat wilayah atau
nasional.
2.
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KLASIFIKASI
Klasifikasi
pada dasarnya adalah pengelompokan obyek tertentu yang sama atau sejenis dan
pemisahan obyek yang berbeda (Nelson et al, 1978). Ini berarti merupakan
teknik informasi untuk secara sistematis menamai obyek yang diklasifikasikan
dan menunjukkan hubungan-hubungan di antara mereka. Hasil dari proses ini
adalah sistem klasifikasi, sedangkan penempatan obyek ke dalam sistem tersebut
disebut identifikasi (Sokal, 1974). Identifikasi obyek selanjutnya diikuti
dengan delineasi daerah-daerah lahan dalam bentuk kegiatan pemetaan atau
regionalisasi. Ilmu klasifikasi itu sendiri disebut taksonomi (Bailey, Pfister
dan Henderson, 1978).
Pengertian
klasifikasi telah digunakan secara agak longgar (tidak terlalu ketat) dalam
sebagian besar bidang survai sumberdaya di bawah semua pengertian-pengertian
tersebut. Karena istilah klasifikasi umumnya digunakan dalam konteks yang luas,
maka dalam uraian-uraian berikut ini, penulis akan memasukkan seluruh aspek-aspek
yang berhubungan dengan proses klasifikasi ini, identifikasi dan regionalisasi
dalam istilah klasifikasi.
Filosofi
dari ilmu pengetahuan pada umumnya didasarkan atas penerimaan aksioma
klasifikasi, di mana terdapat kelompok (group) obyek atau fenomena yang sejenis
yang dapat diperlakukan sebagai satuan tunggal (single unit)untuk keperluan
membuat generalisasi yang sahih tentang aspek-aspek tingkah lakunya (Johnston,
1976). Dengan demikian memungkinkan untuk menyusun berbagai klasifikasi yang
berbeda tergantung keperluan studi yang akan dilakukan.
Keperluan
prosedur klasifikasi secara umum adalah untuk memberikan pengelompokan yang sahih
bagi aktivitas ilmiah yang sedang dilakukan. Dalam kegiatan ini pertama sekali
kriteria klasifikasi hams ditentukan, dan kemudian obyek yang diukur
dialokasikan ke dalam kelas-kelas.
Perlu
ditekankan bahwa klasifikasi adalah buatan manusia dan bukan alami, dan bahwa
sekumpulan obyek dapat diatur dalam banyak cara yang berbeda menu- rut prosedur
klasifikasi yang digunakan di dalam seperangkat data.
Meskipun
prosedur klasifikasi dapat dilakukan dalam berbagai cara, sebagian besar ahli
setuju pada keperluan mendasar klasifikasi yaitu untuk memberikan pengelompokan
yang sahih bagi aktivitas ilmiah yang sedang dilakukan dan untuk dapat menyusun
secara umum tentang obyek yang diklasifikasikan (lihat misalnya Grigg, 1965;
Sokal, 1974; Johnston, 1976).
Kegunaan
klasifikasi dalam evaluasi dan pengelolaan lahan adalah untuk mengumpulkan
informasi, mengorganisasikan dan mengkomunikasikannya untuk keperluan
pengambilan keputusan. Banyak sekali informasi yang dibutuhkan untuk keperluan
ini, yang dapat dikelompokkan secara umum ke dalam dua tipe yaitu kultural dan
alami. Informasi kultural meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan
administratif. Informasi alami meliputi sumberdaya dasar yang menentukan kemampuan
lahan itu sendiri untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Jenis informasi
yang terakhir ini akan mendapatkan penekanan dalam pembahasan-pembahasan pada
bab-bab berikutnya.
Salah
satu fungsi dari suatu sistem klasifikasi adalah untuk memberi kemungkinan
melakukan penyidikan mengenai obyek-obyek yang diklasifikasikan. Data
deskriptif dan data yang diinterpretasikan digabungkan menjadi satuan kelas (a
classified unit) sehingga bagi hal yang sama tidak diperlukan lagi pengulanganpengulangan,
baik dalam deskripsi maupun dalam interpretasi. Oleh karena itu prosedur dalam
klasifikasi seharusnya dapat memberikan keterangan-keterangan yang dapat
digunakan dalam pengambilan keputusan pada berbagai tingkat geografis atau
administratif.
Klasifikasi
penting dalam usaha untuk mengerti dan mengelola sumberdaya lahan, karena
klasifikasi dapat menciptakan keteraturan dari data yang akan diinterpretasi
serta mengurangi jumlah menjadi lebih kecil dari jumlah total obyek melalui
pembentukan kelas-kelas.
Dikenal enam
prinsip umum dalam klasifikasi (Gilmour, 1951 dalam Bailey, Pfister dan
Henderson, 1978) sebagai berikut :
- Klasifikasi
merupakan prasyarat bagi semua pemikiran konsepsi, tidak tergantung dari
subyek yang sedang dipikirkan.
- Kegunaan
utama dari klasifikasi adalah untuk membangun kelas-kelas, di mana kita
dapat membuat generalisasi induktif.
- Kelas-kelas
tertentu yang dibangun akan selalu timbul dalam hubungannya dengan
keperluan tertentu.
- Klasifikasi
yang diadopsi untuk setiap perangkat obyek tergantung dari bidang tertentu
di mana generalisasi induktif tersebut akan dilakukan. Bidang generalisasi
yang berbeda membutuhkan klasifikasi yang berbeda pula.
- Klasifikasi
mempunyai tingkat penggunaan yang berbeda-beda. Sebagian klasifikasi
bersifat lebih umum penggunaannya dibandingkan dengan yang lainnya.
Klasifikasi yang diperuntukkan untuk sejumlah besar penggunaan disebut
alami (natural) sedangkan klasifikasi yang diperuntukkan untuk keperluan
yang lebih terbatas disebut buatan (artificial).
- Tidak
ada satu pun sistem klasifikasi yang sifatnya ideal atau absolut untuk
setiap perangkat obyek tertentu. Akan tetapi selalu ada sejumlah sistem
klasifikasi yang berbeda dalam dasar-dasar pemikirannya sesuai dengan
keperluan penyusunan klasifikasi tersebut.
3.
METODE
KLASIFIKASI
Seperti
telah diuraikan sebelumnya prinsip dasar pada setiap klasifikasi adalah
mengkombinasikan individu-individu yang sama untuk menghasilkan kelompok.
Banyak alternatip perangkat tatacara yang tersedia dalam mengelompokkan individu-individu
tersebut. Pemilihan di antara tatacara tersebut tergantung dari berbagai
faktor seperti keadaan pengukuran atau sifat-sifat data dari obyek yang sedang
dipelajari dan sasaran klasifikasi itu sendiri. Berbagai macam metode
klasifikasi yang dikenal akan diuraikan berikut ini.
3.1.
Klasifikasi Berdasarkan Satu Faktor dan Berdasarkan Faktor Ganda
Klasifikasi
berdasarkan satu faktor (single factor atau monothetic classification)
merupakan klasifikasi yang menggunakan hanya satu faktor tertentu di dalam mengIdasifikasikan
obyek-obyek yang sedang dipelajari. Sebagai contoh, klasifikasi lokasi (sites)
yang didasarkan atas pengukuran produktivitas dapat dikatakan sebagai
klasifikasi satu faktor di dalam pengembangan, penggunaan dan interpretasinya.
Sebaliknya,
klasifikasi berdasarkan faktor ganda (multifactor atau polythetic
classification) menggunakan beberapa faktor di dalam mengkelaskan obyek yang
sedang dipelajari. Sebagai contoh, tipe tanah dan tipe habitat dapat
disederhanakan ke dalam sejumlah kecil sifat-sifatnya yang menonjol yang dapat
digunakan dalam mengidentifikasikan macam dan diinterpretasikan untuk berbagai
keperluan. Salah satu aspek yang menonjol dari klasifikasi faktor ganda
tersebut adalah korelasinya yang cukup baik dengan beberapa nilai sumberdaya
itu sendiri (Bailey et al, 1978).
Untuk
dapat memperoleh kegunaan maksimal, klasifikasi sebaiknya didasarkan atas
faktor ganda, tetapi perlu diperhatikan agar hanya faktor-faktor yang telah diketahui
pengaruhnya terhadap perihal yang sedang dipelajari yang diikutsertakan. Pada
kenyataannya, sekali klasifikasi sudah dikembangkan atas dasar faktor ganda,
klasifikasi tersebut sering dapat ditentukan atau dikenal berdasarkan atas
hanya beberapa sifat-sifat yang menonjol, sehingga memungkinkan orang lain
dapat menggunakannya tanpa harus faham betul mengenai seluruh sifat-sifat yang
digunakan dalam menyusun dan mengembangkan sistem tersebut.
3.2.
Klasifikasi Tingkat Tunggal dan Klasifikasi Hirarki
Klasifikasi
tingkat tunggal (single level) hanya menggunakan satu tingkatan dalam sistem
klasifikasinya. Sebaliknya klasifikasi hirarki menggunakan beberapa tingkat
dalam bentuk hirarki yang membentuk kelas-kelas ordo (orders classes) dari
obyek yang sedang dipelajari sehingga hubungan-hubungan di antara mereka dapat
diketahui. Masing-masing tingkatan yang lebih tinggi merupakan agregasi dari
anggota-anggota kelas yang berada di bawahnya. Apabila satu kelas telah
diketahui pada suatu tingkat tertentu dalam sistem hirarki, maka seseorang
secara otomatis dapat mengetahui semua kelas-kelas yang ada pada
tingkat-tingkat di atasnya. Sebagaiilustrasi dari sistem hirarki ini.
Apabila
satuan-satuan di lapangan telah diidentifikasikan pada tingkat yang paling
rendah dari hirarki tersebut, maka data tersebut kemudian dapat juga dikelompokkan
kembali ke dalam hirarki yang berbeda untuk suatu keperluan lainnya. Dengan
demikian terdapat fleksibilitas di dalam mengembangkan macam hirarki yang
berbeda untuk keperluan yang berbeda, seperti misalnya yang digunakan dalam
klasifikasi taksonomi tanah (lihat Soil Survey Staff, 1975).
Para
perencana lebih menyukai sistem klasifikasi hirarki karena umumnya dapat lebih
mudah digunakan untuk berbagai tingkat perencanaan yang diperlukan.
3.3.
Klasifikasi Berdasarkan Agregasi atau Aglomeratif dan Klasifikasi Berdasarkan
Penguraian
Sistem
klasifikasi dapat dibangun dengan dua cara yaitu agregasi atau aglomeratif dan
penguraian (subdivision) (Wright, 1972 ; Johnston, 1976; Bailey et al, 1978).
Klasifikasi
berdasarkan agregasi atau aglomeratif dimulai dari sejumlah individuindividu,
kemudian dengan menggunakan peraturan-peraturan tertentu mengalokasikannya ke
dalam kelompok atau kelas menurut tingkat kesamaannya pada 'criteria yang
telah dipilih. Dalam hal ini pendekatannya adalah dari bawah ke atas di mana
individu taksonomi dikelompokkan ke dalam kelompok berikutnya yang lebih luas
sifatnya. Sebaliknya, penguraian (subdivision) dimulai dari satuan yang luas
(misalnya pulau) dan kemudian dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang lebih
kecil. Dengan kata lain pendekatannya adalah dari atas ke bawah di mana
keseluruhan populasi dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil.
Berbagai contoh dari kedua metode ini (aglomeratif dan penguraian) telah
diuraikan secara panjang lebar dalam Wright (1972) dan Johnston (1976). Sebagai
pegangan umum, taksonomi didasarkan atas agregasi atau aglomerasi sedangkan
regionalisasi didasarkan atas penguraian.
4.
PENGERTIAN
KLASIFIKASI LAHAN
Istilah
klasifikasi lahan telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang studi. Oleh
karena itu istilah tersebut mempunyai beberapa perbedaan dalam pengertiannya.
Dalam uraian ini, klasifikasi lahan didefinisikan sebagai pengaturan satuansatuan
lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuaiannya
untuk berbagai penggunaan (Soil Conservation Society of America, 1982. hal.
87).
Klasifikasi
lahan merupakan pengembangan sistem logika untuk pengaturan dari berbagai macam
lahan ke dalam kategori-kategori yang ditentukan menurut sifatsifat lahan itu
sendiri. Sifat-sifat ini dapat meliputi sifat-sifat yang dapat diamati secara
langsung, seperti kemiringan lereng atau sifat-sifat yang ditetapkan hanya
dengan penyidikan, seperti kesuburan tanah. Sistem klasifikasi lahan sering
dirancang untuk keperluan yang sangat terbatas dan mungkin hanya menekankan
pada sifat lahan tertentu.
Sistem
komprehensif klasifikasi lahan yang akan dapat digunakan untuk segala keperluan
hanya mungkin dikembangkan apabila pengetahuan kita tentang seluruh cabang ilmu
telah sempurna dan terintegrasi secara tepat. Tahapan kesempurnaan seperti ini
belumlah tercapai dan mungkin tidak akan pernah tercapai. Karena itu, beberapa
sistem yang bersifat pragmatis atau teknis praktis telah dikembangkan, yang
didasarkan atas konsep-konsep mendasar.
Sejumlah
pendekatan untuk klasifikasi lahan telah dikemukakan, seperti yang telah
ditelaah oleh berbagai ahli misalnya Lacate (1961), Mabbutt (1968), Wright
(1972), Mitchell (1973), Olson (1974), Whyte (1976), Higgins (1977), Zonneveld
(1979), McRae dan Burnham (1981), dan Dent dan Young (1981). Beberapa di antara
sistem klasifikasi lahan tersebut akan ditinjau dan dibahas dalam Bab VI dan
VII.
Prosedur
klasifikasi lahan bervariasi dari satu sistem ke sistem lainnya karena adanya
perbedaan-perbedaan dalam prinsip-prinsip, asumsi-asumsi dan kepentingannya.
Selain itu untuk mencapai keperluan yang sama, sifat lahan yang sama dapat
diintegrasikan secara berbeda, dengan memberikan bobot yang berbeda di dalam
kombinasi-kombinasi yang tidak serupa (Kellogg, 1951). Akan tetapi hampir
sernua sistem disusun sebagai upaya untuk membantu dalam perencanaan, baik
untuk menjamin kisaran berbagai alternatip untuk penggunaan pilihan yang
dipertimbangkan gas dasar kebaikan atau keburukannya, maupun untuk memperkecil
bahaya sebagai konsekuensi perubahan dari penggunaan sekarang, dan memperbesar
manfaatnya.
Sebagian
besar dari sistem menyelesaikan klasifikasi lahan dengan jalan membagi lahan ke
dalam bagian-bagian yang lebih kecil yang merupakan satuan-satuan lahan yang
lebih seragam untuk memperoleh deskripsi yang lebih sederhana dan lebih tepat
(Beckett dan Webster, 1965). Dalam prosedur urai (divisive) ini, yang menjadi
permasalahan adalah untuk mendapatkan metode yang konsisten dalam membatasi
satuan-satuan di lapangan dan akhirnya pada peta-peta.
Ada
dua pertimbangan yang biasanya digunakan untuk mendeliniasi satuan-satuan
lahan : sifat dapat dikenal dan sifat dapat direproduksikan (Beckett dan
Webster, 1965). Sifat dapat dikenal berhubungan dengan pengembangan identitas
dari satuan-satuan dan sifat-sifat pembeda yang dibutuhkan untuk dipilih
(Cline, 1949; Beckett dan Webster, 1965). Sifat-sifat pembeda harus merupakan
ciri intrinsik lahan yang diklasifikasikan (Wright, 1972).
Adapun
ciri lahan yang dapat dipilih sebagai sifat-sifat pembeda jumlahnya tidak
terbatas. Pendekatan umum yang dilakukan adalah memilih ciri yang dapat dilihat
dan diukur untuk dapat memudahkan penentuan batas-batas satuan lahan di lapangan.
Sifat dapat
direproduksikan bersifat sangat subyektip dalam banyak sistem klasifikasi
lahan dan pada saat ditentukan umumnya dipertimbangkan dalam istilah relatip.
Menurut Beckett dan Webster (1965) sifat dapat direproduksikan berhubungan
dengan kesamaan sifat dari kejadian yang berbeda pada satuan lahan yang sama.
Banyak
batas-batas dalam pemetaan kelas-kelas lahan dapat diidentifikasikan dari citra
penginderaan jauh, terutama berasal dari foto-foto udara pankhromatik
konvensional. Yang disebut terakhir telah digunakan secara luas dalam kegiatan
survai tanah dan survai sumberdaya lahan lainnya, untuk memberikan model
stereoskopik medan yang akan digunakan dalam menggambarkan batas-batas satuan
lahan, yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pengecekan berikutnya di
lapangan (Thomas, 1980). Lebih jauh lagi foto udara dan citra penginderaan jauh
merupakan alat lapangan yang sangat penting untuk dapat memperoleh data
penggunaan lahan yang dapat diamati dan sifat lahan lainnya. Foto udara juga
dapat digunakan sebagai peta dasar, dan tergantung dari skalanya, gambar
tersebut dapat berisi sejumlah besar titik-titik kontrol sehingga memungkinkan
penempatan yang sangat tepat dari lokasi lapang yang mempunyai berbagai
fenomena (Aldrich, 1981).
Klasifikasi
lahan konvensional telah dikembangkan terutama dalam hunbungannya survey tanah,
dan klasifikasi lahan sering digunakan untuk mewakili fase kedua pemetaan yang didasarkan atas
interpretasi hasil-hasil survey tanah atau satuan-satuan peta tanah. Di Kanada
hal semacam ini disebut klasifikasi kemampuan tanah (Canada Land Inventory,
1965). Banyak pemetaan fase kedua seperti diatas dikaitkan dengan potensi
penggunaan lahan. Akan tetapi, Zoneveld (1979) tidak menyetujui penggunaan
istilah klasifikasi lahanuntuk aktivitas yang melibatkan evaluasi, sebagai
penggantinya dia mengusulkan penggunaan istilah klasifikasi lahan pragmatis.
Klasifikasi
lahan sering dihadapkan dalam berbagai permasalahan. Sebagai contoh, hampir
semua system klasifikasi lahan mengkelaskan lahan dalam berbagai tingkat
kategori yang peda akhirnya disajikan dalam bentuk peta. Oleh karena itu
pemetaan sering sangat mahal dan sangat menyita waktu, terutama apabila
penarikan batas-batas dilakukan dengan ketepatan yang memadai dalam kaitamya
dengan pengujian sifat-sifat mendetail setempat. Oleh karena itu, untuk
keperluan pemetaan khususnya dalam skala kecil (misalnya pemetaan tingkat
tinjau), lahan yang berbeda kadang-kadang harus dikelompokkan kedalam asosiasi
geografik atau kompleks yang ditentukan menurut satuan-satuan takstonomik dalam
system klasifikasi. Dalam hal ini klasifikasi lahan merupakan suatu proses
integrative (Nelson et al. 1978). Salah satu fungsi dari setiap system
klasifikasi lahan ialah memungkinkan melakukan penyapenyidikan terhadap objek
yang sedang diklasifikasikan. Dalam hampir semua penggunaan sistem klasifikasi
memberikan kerangka untuk menginventarisasi secara interdisipliner, dan pada
gilirannya obyek atau lahan yang disidik mengontrol kemampuan system itu
(Nelson et al. 1978).
Paling
tidak dikenal tiga masalah utama dan mengklasifikasikan lahan (Mabbut, 1968;
Zonneveld, 1979). Pertama, masalah tentang kekompleksan sifat lahan, variasi
ruang, dan kesulitan dalm menyederhanakan hubungan-hubungan antar sifat-sifat
tersebut. Kedua, masalah dalam menetukan jangkauan, dan kemudian lokasi
batas-batas lahan yang mempunyai sejumlah besar sifat yang bervariasi dalam
ekspresi ruang yang berbeda, yang menyebabkan batas satuan dapat ditentukan
secara tajam atau berangsur dalam suatu kesinambungan (continun). Ketiga,
masalah asosiasi sebagai hasil dari interelasi dari daerah-daerah yang
berdekatan yang berarti bahwa masing-masing area lebih merupakan system terbuka
daripada system tertutup.
5.
VARIABILITAS
TANAH ALAMI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KLASIFIKASI LAHAN DAN SATUAN PETA LAHAN
Pengetahuan
mengenai variabilitas didalam setiap bidang lahan sangat penting dalam
merencanakan penggunaan lahan dan dalam menentukan tindakan pengelolaan
berbagai aspek pertanian misalnya penggunaan pupuk, irgasi, dan sebagainya. Pengetahuan ini juga penting dalam
survai tanah dalam menetukan batas-batas kelas (Beckett dan Webster, 1971).
Ø
Variasi ciri tanah dari dari suatu titik ke
titik lain dalam bentangan lahan merupakan konsekuensi dari banyak faktor yang
berbeda yang berinteraksi secara erat satu dengan yang lainnya (Varazashvili,
Litayev<dan petrova, 1976).
Ø
Bracewell, Roberston dan logan (1979)
memperoleh variasi yang cukup besar pada jarak pendek dalam hhampir semua ciri
kimia tanah yang mereka ukur, terutama dalam kadar bahan organik dan katoin
yang dapat depertukarkan.
Ø
Variasi lateral kadar liat telah dipelajari oleh
Websrter dan Wong (1969),
Ø
Variasi dalam pH oleh Webster dan Cuanalo
(1975), mendiskusikan variasi tanah dalam konteks klasifikasi wilayah (regional
classification), Webster (1997), dalam studi analisis
variabilitasnya , Campbell (1978) menemukan bahwa variasi pH dari satu
tempat ke tempat lain bersifat acak dan tidak ada pola perubahan yang
dapat diidentifikasikan . Sebaliknya variasi yang jelas terlihat pada kandungan
pasir tanah, variasi lengkap dijumpai pada jarak 30-40 m.
Becket
dan webster (1971) telah mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan
variabilitas tanah diantaranya adalah;
·
Gradien wilayah karena iklim,
·
Menghasilkan gradien tanah jangka panjang
·
Alur-alur buat cacing menghasilkan
perbedaan-perbedaan pada jarak yang pendek
McIntosh
Backholm dan Smith (1981) menyimpulkan bahwa variasi tanah didaerah berbukit
dipengaruhi oleh ;
- Aspek
Lereng
- Ketinggian,
- Vegetasi,
- Pemudaan
tanah kembal,
- Letak
lereng
Kantey,
dan Morse,(1965). Varietas tanah juga tergantung tipe bahan induk. McIntosh et
al (1981) menemukan bahwa perbedaan-perbedaan dalam kandungan unsur hara
penting pada lapisan tanah atas. Terutama status P dalam hubungannya dengan
perbedaan-perbedaan dalam macam vegetasi penutup.
Betney,(
1968) menemukan bahwa variasi tanah berhubungan dengan perubahan-perubahan
geologi setempat dan berpendapat bahea studi-studi tanah geomorfologi sangat
membantu dalam penempatan batas-batas tanah.
Nortcliff
(1978), menggunakan bahan induk tanah sebagai pemisah permulaan untuk
mengidentifikasi pola-pola variabilitas tanah. Akan tetapi dia menemukan
variasi setempat yang cukup besar di dalam satuan-satuan pemisah permulaan
tersebut. Chittleborough(1978) menemukan bahwa variabilitas sifat individu
tanah berbeda sangat luas.
Areola
(1982) menemukan beberapa sifat tanah sangat bervariasi di dalam satuan lahan
yang digunakan, dalam hal ini faset (facet) ( misalnya batuan, basa-basa dapat
dipertukarkan, kapasitas tukar kation, karbon organik, nitrogen, fosfor dan
kalium), sedangkan beberapa sifat lainnya seperti pH dan kejenuhan basa
menunjukan keseragaman.
Milfred
dan Kiefer (1976) mengusulkan penggunaan Foto udarayang berulang untuk membantu
mengidentidikasi dan mengevaluasi variasi di dalam satuan-satuan peta tanah.
Webster (1976) telah mendiskusikan variasi berbagai sifat-sifat tanah yang
berubah secara pertikal dari permukaan menuju ke batuan induk, dan juga secara
lateral.
Beckett
(1967) perubahan yang tajam dalam tanah yang disebabkan antara lain oleh
perubahan yang jelas dalam batuan tana, lereng ataupun draenase akan menaikan
variasi dalam seri tanah. Lumb( 1966) juga menyimpulkan bahwa ciritanah tidak
akan tetap pada semua titik dalam massa tanah, melainkan akan tergantung pada
lokasi titik tersebut, dalam profil tanah.
Blith
dan Macleod (1978) mengemukakan pentingnya peranan variabilitas tanah dalam
mempelajari hubungan antara pertumbuhan pohon dan ciri tanah, terutama untuk
penilaian kemampuan hutan, dimana produk sikayu diprediksi dari hubungan yang
telah diketahui antara pertumbuhan pohon dan sifat-sifat lahan.
Harris
(1915) menyatakan bahwa heteregenitas lebih mungkin terjadi sebagai
alibis ketidakrataan lapangan daripada sebagai akibat perubahan yang relatip
seragam sepanjang lapangan tersebut. Jarvis (1976) menambahkan bahwa
sifat-sifat tanah yang dipengaruuhi oleh penggunaan pupuk atau
tindakan-tindakan perbaikan lainnya Pengapuran ) akan lebih bervarasi. Chew
(1958) mengusulkan pengambilan contoh tanah secara acak sederhana dalam
pekerjaan survai-survai yang berhubungan denga sifat-sifat kimia, fisik dan
biologi tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar